Gerakan Menolak Suharto

TEMPO Interaktif Edisi 47/02 - 24/Jan/1998 Nasional

The Washington Post Saturday, January 31, 1998

Richburg Washington Post Foreign Service Sunday, January 11, 1998

KOMPAS, 6 Januari 1997

Pidato Ketua Umum DPP-PDI
Menyambut HUT KE - XXV PDI

Pernyatan Keprihatinan 19 Peneliti LIPI

Pertisi Ornop untuk Penyelesaian Krisis Secara Konstitusional

Pesan Moral Idul Fitri 1 Syawal 1418 H Aliansi Organisasi Kemasyarakatan Pemuda/Mahasiswa
dan Lembaga Swadaya Masyarakat

Pernyataan Sikap Mahasiswa Universitas Indonesia

Pernyataan Sikap Keluarga Mahasiswa ITB Mengenai Krisis Ekonomi Indonesia

Statement tentang Reformasi Paripurna dan Penggantian Presiden

SIAGA (Solidaritas Indonesia untuk Amien-Mega)

Wawancara Mohtar Pabotinggi:
Tidak Ada Alasan untuk Terjadinya Suksesi dengan Damai

Wawancara Dr. Nurcholish Madjid:
Siapa pun yang Mencalonkan Pak Harto, Masih Bermental Budak

Berita Utama

Rakyat Indonesia
Mulai Secara Terbuka
Menolak Kepemimpinan Suharto

TEMPO Interaktif Edisi 47/02 - 24/Jan/1998 Nasional

Soeharto: Didukung Golkar, Ditolak Parlemen Jalanan Gelombang aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi ekonomi dan politik untuk menyelesaikan krisis ekonomi ini terus menggelembung. Golkar bersikukuh mendukung penuh kesediaan Pak Harto untuk diangkat kembali sebagai presiden RI yang ketujuh. Hawa protes jalanan kian panas. Pemicunya, apalagi jika bukan krisis ekonomi yang berlarut-larut, yang membuat rupiah terpuruk habis, yang membubungkan harga-harga kebutuhan pokok di mana-mana. Semua sektor perekonomian praktis hampir lumpuh. Pengangguran berjumlah jutaan siap mengancam perhelatan suksesi paling akbar: Sidang Umum MPR Maret nanti. Tengok saja serangkaian aksi yang digelar di DPR, hari-hari ini berlangsung terus-menerus. DPR ibaratnya pasar malam, ramai dikunjungi para pengunjuk rasa dengan pelbagai penampilannya yang khas. Tuntutan mereka juga tak tanggung-tanggung, tak cukup hanya sekedar menyerukan keprihatinan atas krisis ekonomi, atau menurunkan harga beras, tetapi juga menuntut pertanggung-jawaban mandataris MPR. Bahkan menolak pencalonan kembali Pak Harto sebagai presiden yang ketujuh kalinya. Riak kecil mulai muncul ketika Jumat, 9 Januari 1998, sekitar 20 pemuda yang tergabung dalam Pijar Indonesia, melakukan demonstrasi di sekitar Monumen Tritura '66, H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Sambil membentangkan spanduk yang berbunyi "Presiden Baru, Badai Pasti Berlalu". Judul pernyataan sikap yang mereka namakan Tritura 1998 ini mengingatkan orang pada Tritura 1966. Ketiga tuntutan itu: meminta pemerintah menurunkan harga bahan-bahan pokok dan menstabilkan rupiah, rombak kabinet, dan yang terakhir, presiden baru. Pesta jalanan ini lalu disambung partisipan yang kian beragam. Senin, 12 Januari 1998, 16 organisasi kepemudaan mendatangi gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, untuk menyampaikan sikap mereka atas krisis ekonomi ini. Sebanyak 50-an pemuda yang berasal dari PMII, IPPNU, GMNI, GMKI, FKGMNU, PMKRI, KMHDI, LBHN, Pipham, GAMKI, PP. IPNU, dan DPP. Pemuda Demokrat, KIPP Indonesia, Puspipam, Pijar Indonesia, dan APUD itu tergabung dalam Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia. Mereka menolak pencalonan kembali Pak Harto sebagai presiden, meminta agar suksesi dilakukan secara terbuka dan demokratis. Karena mereka tidak diterima berdialog dengan fraksi-fraksi di MPR, sehingga yang terjadi hanya menyampaikan pernyataan sikap saja. Sehari kemudian, Selasa, 13 Januari 1998, 35 orang yang menamakan diri Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) juga menggelar aksi di gedung DPR. Menurut mereka, satu-satunya cara untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah dengan melakukan reformasi politik. Tak cukup di bidang ekonomi saja. Aldera sengaja tak menyalurkan aspirasinya ke DPR, karena menganggap hal itu sia-sia. "Toh DPR tak mampu berbuat apa-apa, Mas," kata Lustri, yang memimpin aksi tersebut. Pernyataan sikap yang berjudul "Dukung Megawati, Dukung Reformasi!" itu secara jelas menunjukkan dukungan Aldera atas pencalonan Megawati sebagai presiden Indonesia periode 1998-2003. Isinya berupa empat tuntutan. Pertama, mendesak DPR/MPR untuk tidak lagi mencalonkan Pak Harto sebagai presiden. Kedua, mendukung pencalonan Megawati sebagai presiden RI. Ketiga, mendukung aliansi nasional di bawah Megawati, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid. Keempat, dilaksanakannya reformasi politik dan ekonomi untuk mengatasi krisis. Esoknya, Rabu, 14 Januari 1998, ada fenomena baru yang cukup menarik. Jika selama ini aksi atau demonstrasi identik dengan mahasiswa, buruh atau aktivis LSM, kali ini kaum profesional yang sering dituding oportunis dan tak mau tahu politik, mulai tergugah. Sekitar 20 orang dari berbagai profesi, mulai dari wiraswasta, desainer grafis, hingga karyawan Astra, yang tergabung dalam Masyarakat Profesional untuk Demokrasi (MPD) menggelar aksi di DPR, lengkap dengan spanduk warna-warni. Kelas menengah protes, bayangkan. Mereka mulai menyadari adanya kekeliruan dalam strategi pembangunan, setelah krisis ekonomi ini mengancam masa depan mereka. "Kami sadar bahwa untuk mengatasi krisis ekonomi ini tak cukup hanya dari reformasi ekonomi saja, tapi juga politik, " ujar Ani, seorang profesional muda. Bahkan Burhan, anggota MPD lainnya, berkata,"Suksesi adalah kunci untuk mengatasi krisis ekonomi ini." Alasannya, karena rakyat tak percaya lagi kepada pemerintah serta kabinet sekarang ini. Oleh karenanya dalam pernyataan sikap MPD, mereka menuntut pemerintah untuk menurunkan harga kebutuhan pokok. Selain itu, mereka meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa, di mana presiden selaku mandataris MPR diminta pertanggung-jawabannya atas berlarutnya krisis ekonomi. MPD juga menolak pencalonan kembali Pak Harto sebagai presiden RI, sekaligus meminta agar birokrat bersih dari korupsi dan kolusi. Yang terakhir, pencabutan segala bentuk peraturan yang menghambat demokrasi. Apakah mereka yang tergabung dalam MPD ini tak takut di-PHK oleh bosnya, akibat terlibat aksi itu? "Ketakutan itu memang ada, Mas, tetapi kami ingin masyarakat tahu, untuk mengatasi krisis ekonomi ini tak bisa dengan menunggu, karena situasinya akan makin memburuk. Seluruh masyarakat harus ikut berbuat. Don't wait, harus do something," kata Gerry menambahkan. Ary Mardjono dari FKP yang menerima perwakilan dari MPD pun tak bisa menjanjikan apa-apa, tetapi ia akan meneruskan aspirasi MPD itu kepada DPR. Selain itu, di hari yang sama, terjadi aksi di DPR oleh 40 pemuda yang tergabung dalam Forum Pemuda Jabotabek. Mereka menggelar spanduk, bernyanyi, dan membacakan pernyataan sikap yang menuntut diturunkannya harga-harga pokok di pasaran, dan mengusut penyebab kredit macet. Juga menolak pencalonan kembali Pak Harto sebagai presiden RI, serta menuntut MPR membuka diri dan menerima calon-calon presiden alternatif yang berasal dari masyarakat. Anggota FPJ berasal dari sepuluh kampus yang ada di Jabotabek, juga pemuda dari berbagai organisasi. Sore harinya di kampus ISTN, Srengseng, Jakarta Selatan, mahasiswa dengan melibatkan masyarakat, juga menggelar semacam aksi keprihatinan. Sekitar 60 orang mengikuti aksi ini, tak puas hanya dengan membaca puisi atau orasi, mereka melakukan aksi reli mengelilingi kampus dan kawasan di sekitar Srengseng. Korps Mahasiswa ISTN menuntut penjelasan pemerintah atas distribusi bahan pokok yang ada. Kedua, menuntut penurunan harga bahan pokok. Terakhir, menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas penderitaan rakyat, akibat krisis ekonomi. Apa yang diidam-idamkan oleh masyarakat pencinta demokrasi terwujud, ketika aliansi Mega dan Amien Rais lahir. Kamis siang, 15 Januari 1998, Megawati dan Amien Rais bertemu di kediaman tokoh pejuang 45, Nyonya Supeni. Gus Dur yang rencananya hadir, ternyata berhalangan-karena, katanya, soal teknis: tak dikonfirmasi. Pertemuan penting ini juga dihadiri sejumlah tokoh kritis, seperti Ali Sadikin, Sabam Sirait, dan Laksamana Sukardi. Dari pertemuan itu lahir pernyataan bersama. Intinya, mengungkapkan rasa keprihatinan tentang situasi ekonomi dan perkembangan politik bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Pernyataan itu juga disampaikan kepada DPR/MPR sebagai bahan masukan. Aksi menolak pencalonan kembali Soeharto semakin marak memasuki pertengahan Januari, Senin 19 Januari lalu. Secara bersamaan ada tiga kelompok yang melakukan aksi unjuk rasa di DPR. Kelompok pertama menamakan diri Komite Aksi Mendukung Megawati, 70-an orang pengikut aksi selain menolak kembali Soeharto sebagai presiden, juga jelas menyatakan dukungannya terhadap Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Mereka juga mendukung aliansi Amien-Mega, serta meminta dukungan dari seluruh rakyat untuk mendukung Megawati sebagai presiden RI yang ketujuh. Yang kedua adalah Kelompok Cipayung Jakarta, dengan anggota sebanyak 45 pemuda yang berasal dari HMI, PMII, GMNI, PMKRI serta GMKI. Dan kelompok terakhir berasal dari SBSI, kedua kelompok ini menuntut penurunan harga bahan-bahan pokok, perhatian pemerintah terhadap nasib rakyat kecil, seperti buruh, sopir PPD dan petani yang benar-benar tergencet akibat krisis ekonomi. "Bayangkan saja, saya telah menjadi sopir di PPD selama 26 tahun, tetapi gaji saya hanya Rp 126.000. Saya punya tiga anak yang masih kecil, bagaimana mungkin kami bisa bertahan dalam kondisi krisis seperti ini ?" kata Tigor, seorang sopir yang mengikuti unjuk rasa di DPR itu. Rupanya "koor" menolak Soeharto tak hanya berasal dari mahasiswa, buruh, juga tak cukup dari para profesional. Selasa, 20 Januari, 19 peneliti dari LIPI, yang notabene instansi pemerintah juga menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden RI. Pernyataan keprihatinan yang mereka bacakan di gedung LIPI, Jakarta itu, antara lain berbunyi," ...pengelola kekuasaan negara telah gagal menjalankan amanat rakyat. Oleh karena itu, kami menganggap perlunya pergantian kepemimpinan Nasional..." Para peneliti itu menyatakan bahwa mereka siap menanggung segala resiko yang akan mereka terima sebagai pegawai negeri dan anggota Korpri, atas perbuatannya tersebut. Para peneliti itu antara lain, Riza Sihbudi, Awani Irewati, Asvi Warman Adam, Hermawan Sulistyo, Ikrar Nusa Bhakti, Sri Yanuarti, serta Syamsuddin Haris. Rabu, 21 Januari sebanyak 45 aktivis dari 15 LSM yang ada di Jakarta dan Jawa Barat juga mendatangi DPR, mereka mendesak pemerintah secepatnya bertindak untuk mengatasi krisis moneter ini. Petisi itu disampaikan lewat Ketua BP MPR, Poedjono Pranjoto oleh Apong Herlina, Direktur LBH Jakarta yang bertindak selaku koordinator. Tetapi pemintaan dialog para aktivis itu ditolak oleh Poedjono, sehingga akhirnya para aktivis itu cuma menyerahkan petisinya. beberapa LSM yang turut serta adalah YLKI, Solidaritas Perempuan, LBH APIK, INFID, LPBH-FAS, PPIST, Gugus Analisis, Bina Desa, AFR, PBJ serta Kalyanamitra. Hingga Kamis, 22 Januari 1998 aksi demontrasi juga kembali membanjiri DPR. Kali ini ada lebih dari 300 mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam tujuh kelompok mendatangi gedung wakil rakyat itu di Senayan. Mereka menuntut agar Pak Harto menolak pencalonan dirinya oleh tiga jalur ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG), setelah dua hari sebelumnya pada hari Selasa 20 Januari 1998, Presiden bersedia dicalonkan kembali untuk menjadi presiden periode 1998-2003. Sejak pukul 10.00 WIB barisan pertama telah berkumpul. Mereka adalah dari Forum Kajian Merah Putih, Forum Amanah Aspirasi Rakyat (FAAR), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se-Jakarta (FKSMJ), Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ), HMI se-Jabotabek dan Ikatan Alumni ITB. Di depan gedung DPR, para pemuda itu memulai aksinya dengan menggelar spanduk dan poster-poster yang antara lain bertuliskan, "Gugat pertanggungjawaban rezim atas kesengsaraan rakyat. Tolak mekanisme calon tunggal." Dari halte depan DPR/MPR massa mulai memasuki halaman gedung. Sambil bernyanyi dan diselingi teriakan Allahu Akbar massa bergerak menuju halaman. Massa akhirnya sampai di tangga gedung sidang MPR/DPR dan melakukan mimbar bebas. Dalam tuntutannya FKSMJ, menyatakan dua tuntutan. Pertama, mosi tidak percaya kepada kepada fraksi-fraksi di MPR dan DPR yang telah merekayasa "aspirasi rakyat Indonesia" demi tegaknya status quo kekuasaan di Indonesia. Kedua, menolak pencalonan kembali Bapak Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1998-2003. Menurut juru bicara FKSMJ, Irwan, 24 tahun dari Senat Mahasiswa Universitas Moestopo Beragama, "Kami datang ke MPR/DPR hanya untuk menyerahkan pernyataan sikap ini. Kami tidak perlu berdialog lagi dengan DPR, karena kami sudah menyatakan mosi tidak percaya kepada mereka." Selanjutnya mahasiswa Fikom ini memberikan komentar tentang penolakannya atas pencalonan Pak Harto. "Seharusnya Pak Harto lebih menyadari bahwa kondisi negara ini sudah semakin terpuruk, sebagai akibat kebijakan pemerintah yang salah selama ini. Artinya presiden sudah tidak mampu lagi memimpin bangsa ini," katanya. Sedangkan menurut Nara, dari FAAR yang sempat berdialog dengan F-KP DPR, yang diwakili Sofian Efendi, Andi Matalata, dan Ramli Kamaruzaman, menyatakan tidak ada kesepakatan apa pun dari pertemuan dengan F-KP itu. Bahkan kata gadis manis berjilbab alumni IKIP Jakarta ini menyatakan apa yang dikatakan oleh Andi Matalata dari F-KP, pada hakekatnya kami berbeda dengan FAAR. Wakil-wakil F-KP itu mengakui bahwa fraksinya adalah kepanjangan dari DPP-Golkar dan pemerintah, sehingga wajar jika kami mempunyai aspirasi yang berbeda, kata Nara menirukan pernyataan Andi. Sedangkan alumni ITB yang dikomandani oleh ketuanya Cacuk Soedarjanto, mantan Dirut PT Telkom, bertemu dengan komisi V DPR RI. Di hadapan komisi V DPR itu, ikatan alumni ITB itu membeberkan fakta-fakta bahwa utang dan tagihan luar negeri kepada pihak swasta dan pemerintah Indonesia menurut Ikatan Alumni ITB telah mencapai 140 milyar dollar AS. Selain itu IA ITB juga mencatat hanya 22 perusahaan dari 277 perusahaan publik yang masih bertahan menghadapi badai krisis moneter ini. Setelah aksi pertama ini pada pukul 13.30 sekelompok mahasiswa dari Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia Se-Indonesia (ISMAHI) yang didukung oleh mahasiswa dari Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Pendukung Reformasi (GEMPPUR) juga meramaikan acara demonstrasi di gedung perwakilan rakyat itu. Dalam pesan moralnya, GEMPPUR antara lain menyatakan bahwa refomasi politik adalah keniscayaan yang pasti terjadi, dan menilai bahwa gerakan cinta rupiah tidak tepat, seharusnya diganti menjadi gerakan cinta rakyat. Dalam aksi yang berjalan mulus itu, tidak ada pengamanan yang mencolok dari pihak keamanan. Hanya beberapa anggota brimob dan polisi yang ada di depan pintu masuk DPR. Mereka pun tidak menghalangi barisan mahasiswa dan pemuda itu keluar masuk, meramaikan aksi. Yang mencolok hanya nongkrongnya dua mobil anti kerusuhan "duraka" yang berada di samping pintu masuk depan dan belakang gedung MPR/DPR.. Rupanya krisis ekonomi ini membuat anggota kelompok masyarakat yang satu menjadi solider dengan yang lain. Terbukti ketika Jumat, 23 Januari 1998, lahir SIAGA (Solidaritas Indonesia Untuk Amien-Mega) , dengan anggota awal sejumlah 80 orang ini, sepertinya SIAGA akan tumbuh menjadi kelompok yang potensial untuk mendukung perubahan. Bagaimana tidak, latar belakang anggota SIAGA sangat beraneka ragam, mulai buruh, mahasiswa, karyawan, jurnalis hingga seniman. Mereka mendatangi gedung DPR-RI untuk menyampaikan pernyataan sikap dan dilanjutkan dengan menemui Megawati, untuk menyampaikan usulan. Rencanya mereka juga akan bertemu dengan Amien Rais. Tetapi niat baik SIAGA tampaknya ditanggapi dengan reaksi negatif oleh aparat keamanan. Mereka dicekal dan tidak diperbolehkan memasuki halaman gedung DPR-RI. Bahkan ketika mereka meminta aparat untuk menjelaskan alasan pencekalan itu. Salah satu perwira militer itu cuma menjawab singkat,"Ini perintah atasan." Ketika diminta komentarnya, Ratna Sarumpaet, pimpinan teater Satu Merah Panggung yang menjadi juru bicara SIAGA hanya berkata,"Saya nggak ngerti, mengapa kami tidak diijinkan memasuki gedung DPR-RI, kok menemui wakil rakyat saja tidak diizinkan?" tambahnya. "Padahal kami ke DPR sebenarnya hanya ingin menyalurkan aspirasi, bukankah DPR itu wakil rakyat?" Menurut Ratna jika semakin banyak orang yang dilarang untuk menemui wakil mereka di DPR, jangan disalahkan bila nantinya akan semakin banyak orang turun ke jalan. Justru bentuk penyaluran aspirasi dengan berdemonstrasi ke jalan inilah yang potensial menimbulkan kerusuhan. "Jika sudah jatuh korban jiwa, siapa yang harus bertanggung-jawab? Pemerintah kan, karena mereka yang dengan sengaja menutup telinga dan mata terhadap kesulitan yang menimpa rakyatnya," kata Ratna. Situasi ini diperburuk, saat pemerintah memperalat aparat keamanan untuk membungkam suara-suara kritis yang muncul dari rakyat. "Apa yang SIAGA alami hari ini adalah contoh yang jelas, bagaimana penguasa yang tuli dan tidak peduli nasib rakyatnya, membungkam mulut kami, bahkan ke DPR pun kami dilarang. Lalu kepada siapa kami harus mengadukan nasib," kata Ratna. "Ingatlah bahwa Indonesia negara demokrasi, bukan kerajaan. Rakyatlah yang seharusnya berdaulat, bukan seorang penguasa yang ingin menjadi presiden seumur hidup, tambahnya. Mungkin ketakutan yang berlebih dari aparat dipicu oleh atribut SIAGA yang terkesan sangar dan angker. Bayangkan saja, untuk aksi ke DPR itu mereka menggelar spanduk hitam, sebesar 8 x 1,5 m yang berbunyi, "Kami Menolak Soeharto". Dengan kostum serba hitam dengan ikat kepala warna merah, bertuliskan SIAGA, ditambah puluhan umbul-umbul serta poster dengan warna hitam, alhasil mereka benar-benar membuat aparat keamanan bersiaga penuh menghadang mereka memasuki DPR. Akhirnya setelah gagal bernegosiasi dengan aparat, Ratna Sarumpaet, tokoh yang mendapat predikat Yang Tercekal di tahun 1997 oleh TEMPO Interaktif ini, membacakan pernyataan sikap yang isinya menuntut dilakukannya reformasi ekonomi dan politik. Mereka juga meminta MPR agar menerima aspirasi rakyat, dengan memproses Amien Rais dan Megawati menjadi calon presiden RI periode 1998-2003. Terakhir, menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden RI. Akibatnya SIAGA tercekal di DPR, mengikuti Ratna yang pertunjukannya, pementasan monolog Marsinah Menggugat, juga dua kali dicekal 1997 lalu. Tetapi untung saja SIAGA tidak dicekal Megawati di rumahnya, Kebagusan, Jakarta Selatan. Mereka diterima untuk berdialog dengan Megawati. Dari dialog ini membuat SIAGA yakin untuk terus mengayunkan langkah, membuka diri dengan pihak lain, yang percaya dan mau berbuat untuk perubahan yang lebih baik, lebih demokratis. Kepada TEMPO Interaktif, Ratna bertutur bahwa ia percaya jika berjuang di jalan kebenaran, maka riak akan mengalun, menjadi gelombang, memecah karang kekuasaan. Dan akan mengembalikan kekuasaan kepada yang berhak, daulat rakyat. Bukan penguasa. IS/EB Copyright © PDAT TEMPO Interaktif Edisi 48/02 - 30/Jan/1998 Nasional

Ketika Musim Menolak Pak Harto Tiba
Gelombang aksi unjuk rasa berkaitan soal krisis moneter dan permintaan tidak dipilihnya kembali Presiden Soeharto masih saja berlangsung di DPR. Padahal, Idul Fitri segera tiba. Akankah pasca lebaran demonstrasi ini bisa lebih besar lagi? Penolakan atas pencalonan kembali Presiden Soeharto terus marak di DPR. Dalam sepekan ini saja tercatat hampir lima puluh kelompok dan organisasi kepemudaan, mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat menggelar aksi di gedung wakil rakyat di Senayan, Jakarta. Apa yang membuat aksi ini terus berkepanjangan? Tentu, tidak lain dan tidak bukan adalah krisis ekonomi yang tak kunjung membaik. Krisis inilah yang kemudian ditelaah oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), sebagai krisis yang paling buruk. Tidak hanya di Asia Timur dan Tenggara, tetapi juga terburuk sepanjang sejarah pemerintahan Orba. Selain aksi para pengacara dari PBHI, Senin pekan ini, pada saat bersamaan, lebih dari dua ratus orang dari kelompok pendukung Megawati Soekarnoputri, kelompok yang mengatasnamakan Keluarga Besar Pedagang Asongan dari Jakarta Pusat dan Pijar Indonesia juga menggelar aksi di lobi gedung DPR RI. PBHI datang dengan kekuatan sekitar 40 orang lawyer. Dipimpin oleh Direktur Eksekutif PBHI, Hendardi, nampak hadir juga Luhut M. Pangaribuan, pakar politik Arbi Sanit, dan Permadi SH. Mereka diterima oleh Fraksi Karya Pembangunan. Dalam pokok-pokok pikiran reformasi ekonomi dan reformasi politik yang berjudul "Ayo Selamatkan Indonesia", PBHI mengurai secara kritis problem ekonomi dan politik selama pemerintahan Orde Baru, yang menjadi benih-benih munculnya krisis ekonomi, yang mengarah kepada "kebangkrutan" ekonomi seperti sekarang ini. Seperti yang tertulis dalam pokok-pokok pikiran setebal 26 halaman itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Indonesia, dipicu oleh perlakuan birokrasi sebagai patron (gantungan) dengan pengusaha. Pada gilirannya praktek-praktek ekonomi seperti ini membuat tumbuh suburnya korupsi dalam birokrasi. Krisis yang berkepanjangan ini telah membawa kenaikan harga pada barang-barang non impor, seperti yang terjadi pada kenaikan sembilan barang pokok yang telah merata di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal ini, menurut PBHI sekaligus menepis pernyataan Ketua Golkar Harmoko yang mengatakan dampak krisis ekonomi tidak sampai ke desa-desa. Karena krisis teramat serius, PBHI beranggapan bahwa "Gerakan Cinta Rupiah" yang dipelopori oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Indra Rukmana, tidak akan mungkin menjadi gerakan rakyat banyak, melainkan hanya menjadi "aksi mereka yang punya uang". Dengan kata lain hanya menjadi gerakan elitis dan tidak akan sampai pada sasarannya. Seperti juga pandangan kebanyakan cendekiawan, peneliti dan mahasiswa, PBHI juga menyatakan bahwa tindakan ekonomi saja tidak cukup menjadi obat bagi penyembuhan krisis ini. Untuk itu pula diperlukan reformasi politik. Reformasi politik yang ditawarkan PBHI antara lain: segera diakhirinya era eksklusif rejim politik yang berkuasa dari massa rakyat, perubahan sistem kepartaian, dibukanya kran bagi masyarakat untuk berorganisasi secara bebas, menghapuskan politik perijinan, mengkaji ulang peran sosial politik ABRI, memberlakukan kebebasan pers, dan memberdayakan lembaga DPR/MPR, serta mendesak MPR untuk memperjelas mekanisme suksesi presiden RI, yang selama ini tidak transparan. Anggota FKP Syamsul Maarif secara jujur mengakui bahwa dalam hal reformasi ekonomi, DPR kalah cepat dibandingkan IMF. Sedangkan untuk reformasi politik yang menyangkut pergantian "sopir' atau pimpinan nasional, secara jujur Syamsul mengatakan hal itu sulit dilakukan. Karena pimpinan Golkar sendiri sudah menyebutkan nama Presiden Soeharto sebagai presiden mendatang, jadi F-KP hanya menerima usulan itu. Tetapi, kata Syamsul, proses itu belum berakhir karena masih akan dibahas dalam fraksi-fraksi di MPR. Sementara itu Pijar Indonesia menyatakan dukungannya yang penuh kepada Megawati Soekarnoputri sebagai presiden dan Amien Rais sebagai wakilnya. Sementara itu, Pijar juga membuat ancer-ancer mereka yang masuk kabinet pemerintahan transisi Indonesia 1998-2003. Misalnya saja, Gus Dur dicalonkan sebagai ketua MPR, Moedrik Sangidoe sebagai ketua DPR, Sarwono Kusumaatmadja sebagai Mensesneg, Pangab Jenderal Wiranto, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Sri Bintang Pamungkas. Masih banyak kelompok yang datang ke DPR meminta agar budaya calon tunggal, yakni Pak Harto, diakhiri. Akankah suara mereka yang tahun ini terdengar lebih kencang itu akan diperlakukan MPR seperti "anjing menggonggong kafilah tetap berlalu" seperti pengalaman pencalonan Soeharto sebelumnya? EB Copyright © PDAT Washington Post

Burgeoning Opposition Tries
to Steer Indonesia Toward Reform
By Cindy Shiner
Special to The Washington Post Saturday, January 31, 1998; Page A15

JAKARTA, Indonesia-For 30 years Indonesians adhered largely to an unspoken rule: Keep quiet and continue to enjoy the prosperity generated by free-market reform. Break the silence and be shut away. But with the country's economy in precipitous crisis since last summer -- its currency all but worthless, its foreign debt rising, and unemployment and inflation headed upward -- people have begun speaking out against the authoritarian government of President Suharto as never before. As the country grapples with an International Monetary Fund bailout package and its attendant austerity, former generals, intellectuals, corporate and religious leaders have joined the swelling chorus calling for reform. The only problem is that this burgeoning political opposition is as rudderless as the economy itself, with aging activists pulling anti-government rhetoric out of the attic and a new generation confronting ideals they have only read about in textbooks. "We became a growing capitalist country very fast," said Jusuf Wanandi, chairman of Indonesia's largest think tank, the Center for Strategic and International Studies. "One generation has become yuppies as in other countries. They didn't care." One former activist from the 1960s said that when he asked his 20-something daughter what the government should do to pay its debts, she suggested that it sell Indonesia's island resort of Bali. "They are very pragmatic," the activist said of the country's younger generation. "They are not really interested in politics." And the handful of people who are interested seem to lack any clear aim of how to effect change. To make matters worse, one of the few who did, Abdurrahman Wahid, suffered a stroke earlier this month. Wahid, 57, is the leader of the 30-million-strong Nahdatul Ulama, Indonesia's largest Muslim organization. "Wahid holds the key to political stability in the country," said Marzuki Darusman, leader of Indonesia's National Commission on Human Rights. "He has been able to rally the more extreme and moderate forces into a movement. He is the crucial factor in the overall equation of an umbrella [opposition] alliance of some sort." The vast Indonesian archipelago is the world's largest Muslim country and the fourth most populous nation overall, with 200 million people. They comprise 300 ethnic groups who inhabit 9,000 islands. Wahid, a moderate nationalist, favors Suharto's slow, constitutional departure in line with the traditional dislike of confrontation of the Javanese, Indonesia's dominant cultural group. Before his stroke Wahid was trying to join forces with opposition leaders Megawati Sukarnoputri and Amien Rais, who leads another, more radical Muslim organization, the 28-million-strong Muhammadiyah group. Rais has declared himself a candidate in the March presidential election by the largely appointed People's Consultative Assembly. Sukarnoputri also has declared her candidacy. She is a former parliament member and the daughter of Indonesia's founding president, Sukarno, a charismatic leader who is still fondly remembered. Suharto pushed him aside in 1965 after leading a military takeover against what was described as an abortive communist coup, ushering in a period of bloodshed when thousands of people -- mainly communists and minority Chinese -- were killed. Those years are still fresh in the memories of middle-aged Indonesians such as Sukarnoputri, serving to temper calls for government opponents to take to the streets in their push for new leadership. Bearing that in mind, however, Sukarnoputri continues to look to the people for guidance rather than providing it herself. She says she is willing to run for the presidency "if this is indeed the will and consensus of the people." But she has yet to say what she would do if the assembly votes her into office. When asked recently about her preparedness for the office she said: "That's always the question. Are you scared? Are you brave? Are you ready or are you not?" But she did not answer the question directly. In any event, her chances of becoming Indonesia's leader are a long shot. Suharto has said he will run for a seventh consecutive five-year term in March. Suharto has strong military backing, which was apparent in 1996 when the armed forces moved to quell the worst rioting in more than a decade, prompted by the ouster of Sukarnoputri as leader of the small Indonesian Democratic Party and the military's eviction of her young supporters from party headquarters. More recently, the military has taken on bigger targets as well. On Monday military officials questioned the ethnic Chinese leader of one of Indonesia's largest conglomerates, the Gemala Group, in connection with a recent bombing in a Jakarta slum apartment. The blast was thought to be politically motivated. The businessman, Sofjan Wanandi, was asked why his name allegedly appeared on documents found at the bomb site. Wanandi, a former '60s radical and the brother of think tank chairman Jusuf Wanandi, used to openly criticize the Suharto government. But after his questioning he changed his tone, calling on all Indonesians to support the government and help the country overcome its crisis. "I'm afraid to talk about politics," he said in a news conference. Such talk from a corporate power broker does not bode well for Indonesia's opposition movement. "They will somehow have to retrench and take a look at the whole situation and determine what their next steps are," human rights leader Darusman said. "The problem is they're pressed for time. The presidential election is only a month and a half away. To wait too long . . . they will be superseded by more militant groups." © Copyright 1998 The Washington Post Company

Deepening Crisis Emboldens Suharto's Critics Disenchanted Indonesians Openly Urge Longtime Leader to Step Aside
By Keith B.
Richburg Washington Post Foreign Service Sunday, January 11, 1998; Page A01

HONG KONG, Jan. 10-The country's economy lies in shambles, the currency nearly worthless and inflation spiraling to four digits. Students take to the streets in protest, while the urban classes grow increasingly discontented. A social explosion seems inevitable. The military is restless. And the long-serving president -- once seen as a master manipulator able to balance the competing forces -- appears to have lost his grip. The year is not 1998, but 1965 -- Indonesia's Year of Living Dangerously -- and the president is not Suharto, but his predecessor, Sukarno, leader of the anti-Dutch colonial resistance and Indonesia's charismatic first post-independence president. President Suharto, who has been in power for 32 years, emerged from the chaos of 1965 after leading a military takeover against what has been described as an aborted communist coup. In his three decades in power, Suharto, 76, has reversed Indonesia's economic decline, unifying the country's diverse 300-plus ethnic groups and raising per capita income from $55 to $900. He has won plaudits from other countries and from the World Bank for doing more to alleviate poverty than any other nation with the possible exception of China. Now with Indonesia's economy in a tailspin -- its foreign debt mounting and bankruptcies, unemployment and inflation set to rise -- Indonesians are asking whether Suharto, like the man he replaced, has lost his political touch. "The old man," as he is commonly called, is the world's longest-serving leader after Fidel Castro. Never much of a public speaker and lacking the charisma of his predecessor, the enigmatic Suharto increasingly is described as aloof, ailing, out of touch, unable to grasp the severity of the crisis and surrounded by close family members and friends whose advice serves mainly to protect their own business interests. Suharto's six children, for example, are all millionaires, and their business enterprises range from cars and petrochemicals to banks and telecommunications. Since independence, Indonesians have experienced only that one change of leadership in 1965, and many now fear a repeat: a chaotic, prolonged and bloody power struggle, with the armed forces, or Abri, as the central player. Suharto, a traditional Asian autocrat who brooks no dissent, has never groomed a successor and has concentrated so much power in his own hands that few can imagine any scenario without him. "That's one of the troubling things about Indonesia, the complete absence of any credible succession scenarios," said a Jakarta-based Western diplomat. Suharto's five-year term runs out in March, and he is widely believed to be seeking another appointment from the rubber-stamp national assembly. But unlike the previous six times, when he basically ran unopposed, this time there are loud calls for "the old man" to step aside. The latest call came today from Megawati Sukarnoputri, a former member of parliament and daughter of Sukarno, the man Suharto ousted. "Suharto's rule as president for 32 years is quite enough," Sukarnoputri declared in a fiery speech to about 500 supporters at her compound in a Jakarta suburb. "I hereby take this opportunity to become the leader of our nation and our people, if this is indeed the real consensus of the people." Sukarnoputri's call is seen as particularly bold because she had been maintaining a relatively low profile over the last 16 months, since Jakarta erupted into riots in 1996 following her ouster as head of the small Indonesian Democratic Party and the military's bloody eviction of her supporters from the party headquarters. A small group of retired military officers, a former cabinet minister, and a leading political scientist and commentator also have made unusual public statements urging Suharto not to seek another term. Although Suharto has not announced his intentions, an Indonesian newspaper today quoted his half-brother, Probosutedjo, as saying the president would retire once a suitable successor was found. "I am sure he has no intention of remaining the national leader forever," the newspaper, Kompas, quoted Probosutedjo as saying. But many academics, diplomats and longtime Indonesia-watchers question whether Suharto has any intention of stepping aside. Some say that quitting is simply not the old general's style, that -- like the Javanese monarchs of old -- he will die in office. But others say that even if he wanted to quit, he would find resistance among his family members and cronies who would stand to lose their lucrative monopolies and their vast fortunes. Among the reforms being pushed by the International Monetary Fund as part of a $43 billion bailout are reducing high tariffs and government regulation and ending costly subsidies. Cartels control cement, plywood, paper and fertilizer, while cloves, soybeans and wheat flour mills are under exclusive licensing deals. The government keeps price controls on sugar, rice and cement. And in almost every sector with heavy government control or where a monopoly is granted, there is a Suharto offspring or a closely connected friend of the first family. Suharto's son, Hutomo Mandala Putra, or Tommy, produces the Indonesian national car, the Timor, under a deal with South Korea's Kia Motors, while another son, Bambang, is part-owner of a giant petrochemical complex. Bambang and Suharto's half-brother, Probosutedjo, were among the owners of one of the 16 insolvent banks liquidated by the government. Suharto's daughter, Siti Hardijanti "Tutut" Rukmama, who has been mentioned as a possible successor to her father, has interests in a flour mill and a new toll road. The IMF's reform package would target some of those family enterprises -- removing the trading monopoly on wheat and soybeans, lowering tariffs on chemicals and steel, doing away with price ceilings on cement. But as the Indonesian government -- and that means Suharto, for all practical purposes -- has dragged its feet on reform, analysts say the president has shown no willingness to sacrifice the interests of his family and friends for the good of the nation. The recent flight of capital out of Indonesia -- causing the currency to collapse at one point to 10,000 to the dollar -- is said to be caused by residents moving their money overseas, fearing that the government will not implement reforms and that the country could default on its foreign loans. In reconstructing his ravaged country, Suharto relied on Indonesia's ethnic Chinese business elite who, although making up just three percent of the country's population, control the vast majority of its wealth as well as access to overseas Chinese capital in Hong Kong, Taiwan, Singapore, Thailand and Malaysia. Now ethnic Chinese are said to be worried they could become targets of violence, as they have in the past, if the current disenchantment boils over onto the streets. "We have a crisis of [government] credibility in addition to an economic crisis," said an Indonesian political scientist who, like many in Jakarta, spoke anonymously. "We do not expect democracy from Suharto -- his family interests are too great." Few here are certain how the stalemate can be resolved, if Suharto insists on seeking a new term. Only the armed forces would be powerful enough to oppose him, but the Abri commander so far has remained loyal and ruled out any talk of a coup. And as one Asian diplomat in Jakarta said recently, "Abri doesn't have a strong man like they did in the 1980s. And Abri isn't sure itself what it wants." Other analysts say a younger generation of officers is more democratically minded and wary of Suharto extending his tenure. One political scientist who knows several junior and senior officers in Abri said, "They have the same opinion I do -- he's been there too long and is too powerful." The only other power center is the ruling Golkar party, but it, too, is divided, with Suharto's daughter taking a more prominent role. "So the president is sitting very much in control," the diplomat said. "There's no one to tell him what to do."

© Copyright 1998 The Washington Post Company


KOMPAS, 6 Januari 1997

Dr Amien Rais: Rakyat Sudah tidak Tahan Hadapi Kezaliman Ekonomi

Jakarta, Kompas

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Amien Rais mengemukakan bahwa berbagai kerusuhan akhir-akhir ini baik di Jakarta maupun di daerah-daerah terjadi akibat tidak tahannya rakyat menghadapi kesewenang-wenangan dan kezaliman ekonomi yang telah berlangsung cukup lama.

"Ini sangat gawat. Republik in,i yang berdasarkan kemajemukan agama, etnis, dan ras seperti sangat terancam. Sumbernya bukan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) itu sendiri, tapi kesewenang-wenangan dan kezaliman ekonomi yang berlangsung cukup lama, sehingga rakyat banyak sudah tidak tahan lagi," tutur Amien Rais kepada wartawan usai berceramah pada ulang tahun Aisyiah di Istora Senayan, hari Sabtu (4/1).

Amien melihat kerusuhan hanya bisa terkendali jika ada program-program yang jelas untuk memberdayakan ekonomi masyarakat banyak. Menurut dia. program-program yang ada sekarang seperti proyek Jimbaran dan penyisihan dua persen dari keuntungan perusahaan memang akan berjalan, tapi kemungkinannya, "Doesn't make any d ifference. " (tidak akan membawa perubahan apa-apa Red)

Tiga penyakit kronis

Secara lebih rinci, Amien menjelaskan bahwa kesewenang-wenangan dan kezaliman ekonomi itu bermula dari adanya tiga penyakit kronis yang makin hari justru' makin parah. Ketiganya mengakibatkan bukan hanya letupan, tapi bahkan ledakan sosial, yang kalau tidak ditangani secara hati-hati, bisa lepas kendali.

Amien menyebut pengakit kronis pertama adalah korupsi. Ia mengatakan, korupsi sudah melembaga, membudaya, memasyarakat, menyeruak ke seluruh sel tubuh bangsa ini.

Kedua, kesenjangan sosial yang makin gawat. "Kesenjangan akibat tidak adanya distribusi kekayaan nasional yang memadai. Kita malah melihat di berbagai tempat kekayaan bangsa dikeruk dan dibawa ke luar negeri oleh perusahaanperusahaan asing," katanya.

Penyakit kronis ketiga, menurut Amien, adalah paham aji mumpung di sebagian para petinggi negeri ini. "Maaf ini kritik ke dalam, sebagian petinggi kita sepertinya memiliki ajimumpungisme. Rakyat kan mempunyai nurani. Rakyat kita itu baik, nurut, nrimo tetapi itu semua tentu ada batasnya," demikian Amien.

"Jadi kejadian di Jakarta, Situbondo, Tasikmalaya, Sanggau Ledo itu semua akibat ini. Jadi kita jangan peringas-penngis (tertawa-tawa) terus. Saya kira itu sudah serius," tutur Amien.

Amien menyatakan semua pihak harus bertanggung jawab. "Saya tidak mengatakan pemerintah harus bertanggung jawab, tetapi semua bertanggung jawab. Yang jelas, kita sudah berjalan demikian jauh, tetapi nampaknya penyakit kronis itu belum juga dibongkar," katanya.

Apakah berbagai kerusuhan itu juga akibat adanya pandangan yang salah terhadap agama? Menurut Amien Rais, masalahnya bukan itu. Tetapi itu semua bermula akibat proses pertumbuhan pembangunan yang memang berat ke atas.

"Si Paijo, Si Paijem itu kan jumlahnya berpuluh-puluh juta. Itu kok kurang perhatian. Hanya baru-baru ini saja ada proyek Jimbaran, lalu imbauan per;yisihan dua persen dan lain-lain. Itu memang berjalan, tetapi tidak membuat perubahan apa-apa," katanya

"Ini teman-teman di lapis bawah itu ibarat rumput kering, yang dilempar apa pun asal ada apinya akan membakar. Itu masalahnya. Kita .tidak bodoh. Tentu dalam situasi seperti ini, ada politisi-politisi yang tidak bertanggung jawab untuk menggabungkan SARA pada rumput kering. Tapi tetap akarnya itu adalah menganganya jurang sosial-ekonomi, yang dimasuki apa pun juga bisa," demikian Amien.

Ia menambahkan yang terjadi di Situbondo dan Tasikmalaya itu persis sama. "Di Situbondo itu ada perkelahian antarsantri. Yang satu santri gendeng, yang lain santri bener. Tapi yang dibakar gereja. Apa urusannya? Di Tasikmalaya juga demikian. Itu perkelahian antara polisi gendeng dengan pesantren. Tapi kok yang dibakar toko Cina dan gereja. Apa urusannya? Karena itu, pasti ada orang-orang yang memang cukup piawai dan licik untuk mengendalikan ini," katanya.

"Jadi menurut saya, janganlah agama tertentu, apakah it~ I Islam, Kristen, Katolik, Buddha I Hindu, dipojokkan. Itu berart kita menghindar dari masalah,' ujarnya.

"Sebagai orang Islam, say a melihatnya aneh ketika setelah kejadian itu yang mendapat briefing itu para ulama. Jadi ulama itu yang seolah-olah bertanggung jawab. Itu kan bukan ulama yang harus bertanggung jawab. Keadaannya itu sendiri yang harus diperiksa," demikian Amien.

Ketika ditanya apakah kerusuhan itu akan makin berkembang, menurut Amien, hal itu tergantung kepada kesungguhan pemerintah untuk memberdayakan ekonomi masyarakat banyak.

"Itu tergantung. Kalau ada kesungguhan pemerintah untuk meyakinkan rakyat bahwa memang kita ini ada komitmen yang sungguh-sungguh untuk mengangkat mereka, ya itu baik. Sebab sekalipun rakyat tahu bahwa hal itu tidak akan mengubah nasib mereka dengan cepat, tapi dengan adanya langkah konkret itu, mereka barangkali tahu seluruh masalahnya, " tutur Amien. (vik)

Pidato Ketua Umum DPP-PDI,
Megawati Soekarnoputri
Menyambut HUT KE - XXV PDI

Assalaamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Keluarga PDI yang saya cintai, Para simpatisan-pendukung gerakan demokrasi, Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air.

Merdeka !

Pada hari ini, 10 Januari 1998, PDI telah sampai pada usianya yang ke 25. Setelah seperempat abad berdiri dan berkiprah, dengan tegas saya katakan bahwa sampai detik ini PDI belum juga dapat tumbuh menjadi besar dan dewasa. Mengapa?.

Karena sistim politik yang berlaku menghendaki dan membuatnya demikian. Hal ini menunjukan belum dewasanya dunia politik kita - yang berarti pula menjadi bukti nyata gagalnya pembangunan politik dalam kepemimpinan nasional selama ini ! Salah satu ciri dari kegagalan ini ditandai dengan kehidupan demokrasi yang nafasnya masih tersendat-sendat dan yang kian hari penurunan kualitasnya semakin saja dapat kita rasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sumber dari kegagalan pembangunan politik ini, pada dasarnya disebabkan oleh dipertahankannya arogansi kekuasaan dan hegemoni kekuasaan yang menghancurkan berbagai bangunan kehidupan dan tata kehidupan disebuah negara hukum kita. Seakan kita hidup dalam suatu negara berdasarkan kekuasaan (Machtstaat) yang jauh dari harapan hidup disebuah negara berdasarkan hukum (Rechtstaat). Potret kehidupan berbangsa dan bernegara seperti inilah yang menjadi penyebab terjadinya berbagai krisis. Mulai dari krisis ekonomi hingga krisis berbangsa dan bernegara yang mengarah pada suasana total krisis seperti terjadi sekarang ini.

Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air,

Pada kesempatan ini, saya mengajak saudara-saudara untuk membahas krisis yang tengah kita alami secara terbuka dan apa adanya. Kita harus lakukan hal ini, mengingat nasib 200 juta lebih rakyat Indonesia akan sangat ditentukan oleh mampu atau tidaknya kita semua terutama pihak penyelenggara negara mengatasi krisis yang sangat parah ini. Apalagi menghadapi kenyataan pahit timbulnya citra bangsa kita yang seolah-olah telah mengidap penyakit kronis yang menyebabkan para penanam modal internasional menjauhi dan hilang kepercayaan kepada bangsa Indonesia yang dewasa ini dinyatakan dalam kondisi: sangat tidak sehat.

Tragedi merosotnya nilai rupiah hingga titik yang paling parah dan sangat tidak wajar terjadi, tentunya merupakan pula indikasi hilangnya kepercayaan rakyat pada mata uangnya sendiri. Hal ini membuktikan hilangnya juga kepercayaan rakyat kepada cara penyelenggaraan negara dan kepemimpinan nasional yang ada.Rakyat sudah tidak semakin yakin bahwa perubahan harus terjadi dan sudah tiba saatnya untuk dilaksanakan.

Saudara-saudaraku yang mendambakan keadilan,

Hal apa yang menyebabkan terjadinya krisis dan hilangnya kepercayaan rakyat ? Dalam pengamatan saya ada 3 (tiga) penyebab utama:

Yang pertama adalah keserakahan yang merajalela dalam kehidupan para penguasa politik dan penguasa ekonomi dinegeri ini;

Yang kedua adalah; tidak adanya transparansi dan dimatikannya demokrasi yang membuat kedaulatan rakyat berada dalam posisinya yang sangat buruk;

Yang ketiga adalah; suburnya berbagai pengingkaan terhadap hakekat dan cita-cita kemerdekaan, sehingga melupakan bahwa kita adalah bangsa yang beradab, berbudaya, dan beragama.

Mencermati menjamurnya budaya serakah ini, terbukti telah melahirkan berbagai keserakahan yang membuat hutang luar negeri kita telah menjadi sangat besar. Karena, ternyata hutang luar negeri kita telah dipakai sebagai sarana berspekulasi dan upaya memperkaya diri dengan cara membentuk kolusi antara penguasa dan pengusaha. Sikap mental inilah yang menyebabkan tidak adanya kepedulian terhadap jumlah hutang yang terus membengkak dan yang pada akhirnya sangat membahayakan perekonomian bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Lihat saja bagaimana bangunan gedung-gedung tinggi, perumahan mewah, pusat-pusat perbelanjaan, dibangun secara berlebihan dan membabi buta dengan menggusur rakyat kecil tanpa ganti rugi yang memadai. Padahal, akhirnya rakyat yang digusur dan ditelanterkan tahu bahwa modal kerja yang digunakan untuk membangun kerajaan bisnis mereka - berasal dari hutang luar negeri yang bila tak mampu mereka bayar akan menjadi beban hutang rakyat sepenuhnya!

Pemberian konsesi dan monopoli kepada hanya sekelompok pengusaha dan individu tertentu dengan dalih: demi kepentingan nasional, ternyata merupakan cara untuk menyalurkan hutang luar negeri pada wilayah-wilayah usaha yang dibangun oleh dan untuk mereka sendiri.

Dengan kata lain, praktek-praktek seperti ini sama saja dengan menyediakan sebagian hutang luar negeri kit untuk membiayai korupsi dan kolusi yang jelas-jelas merupakan tindakan kejahatan. Semakin besar hutang yang didapat, semakin besar kemungkinan melakukan kolusi dan korupsi. Sebagai akibat semakin besar pula penderitaan rakyat kebanyakan!

Dengan mengungkapkan hal ini, tidak berarti saya anti terhadap hutang dan pinjaman luar negeri. Sebagai negara yang tengah membangun, melakukan pinjaman dan hutang luar negeri memang diperlukan, dan bagi saya hal itu sangatlah wajar. Yang tidak wajar dan saya anggap sudah keterlaluan, adalah praktek-praktek korupsi dan kolusi yang memanfaatkan hutang luar negeri kita untuk memenuhi kepentingan berbagai bisnis pribadi dan keluarga seluruhnya. Perhatikan setiap kali datang "bantuan hutang" luar negeri, perhatikan saja, setiap kali proyek besar diumumkan, setiap kali pula nama-nama besar dari lingkungankeluarga yang itu-itu juga muncul dibelakangnya. Seolah perekonomian Indonesia adalah mereka, karena mereka adalah segalanya!

Warga bangsaku, dimanapun berada,

Haruskah rakyat yang selama ini hanya ditempatkan sebagai objek, menanggung akibat dari seluruh tindak para perusak ekonomi yang dalam tiga dasa warsa ini justru sempat dibiarkan malang melintang bertindak semaunya tanpa aturan ?

Sekali lagi saya bertanya,haruskah kita menanggung hutang-hutang mereka?

Mempertanyakan saja, rasanya sudah tidak adil. Apalagi bila rakyat harus menanggung kebangkrutan semua ini!

Oleh karenanya mulai hari ini, tanyakan terus pada pemerintah - siapa yang akan membayar hutang-hutang luar negeri para konglomerat yang milyaran dollar dan trilyunan rupiah jumlahnya? Apakah mereka mampu membayar hutang mereka, ketika harga dollar telah melambung hingga berlipat ganda seperti sekarang ini?

Bila mereka tak sanggup membayar, dan karenanya negara (baca: Rakyat) yang harus menanggung, maka keadilan harus ditegakkan. Ajukan kepengadilan para perusak ekonomi yang telah merugikan negara dan masa depan rakyat kita! Begitu pula bagi pejabat-pejabat negara yang terbukti terlibat korupsi dan kolusi, sangat diperlukan adanya proses pengadilan yang mandiri agar keadilan dapat benar-benar ditegakkan. Mereka harus tahu bahwa perilaku mereka yang tak terpuji ini, telah memberi kemungkinan menggelembungnya keserakahan. Merekalah penyebab terjadinya pembangungn yang serba lebih besar pasak dari tiang selama ini! Merekalah yang paling dan harus bertanggung jawab!

Saudara-saudaraku tercinta,

Perihal tidak adanya transparansi dan dimatikannya demokrasi, dapat kita rasakan dampaknya yang sangat merugikan kehidupan bangsa. Tidak adanya transparansi membuat seluruh proses pengambilan keputusan dibidang ekonomi dan politik dilakukan secara tertutup. Sama sekali tidak memberi peluang untuk diperdebatkan secara terbuka, dan itu sekaligus menutup pintu partisipasi rakyat dalam menentukan berbagai kebijakan politik dan ekonomi.

Dimatikannya Demokrasi telah menciptakan suasana yang membuat berbagai tuntutan dan protes terhadap kebijakan maupun cara penyelenggaraan negara, seringkali dianggap dan digolongkan sebagai tindakan yang bermuatan subversif. Bahkan kritik terhadap pemerintah maupun pejabat-pejabat negara dan apalagi kepala pemerintahan, masih dianggap sebagai tabu politik. Bahkan protesdan tuntutan yang bernada membela Rakyat dan terkesan menyudutkan pemerintah, sering kali direkayasa sebagai suatu tindak pelanggaran hukum. Itulah sebabnya, banyak kawan-kawan seperjuangan kita para pemuda dan mahasiswa kita dijebloskan kepenjara, hanya karena mengekspresikan rasa cinta kepada bangsa dan rakyatnya melalui aksi unjuk rasa yang damai sekalipun.

Keadaan yang serba gelap ini sangat mudah diciptakan, saat kebebasan pers dibelenggu dan terbelenggu. Pers dihadirkan untuk hanya berfungsi sebagai penunjang kelancaran jalan kereta politik penguasa. Diciptakannya stasiun-stasiun televisi swasta pun, ternyata tidak dapat dilepaskan dari kepentingan mengutamakan pemuliaan terhadap kekuasaan daripada pemuliaan terhadap peradaban demokrasi. Kebijakan ini sangat berbahaya karena yang dipertaruhkan adalah kualitas kebudayaan kita sebagai manusia maupun sebagai bangsa.

Oleh karena itu, pers harus berani tampil kedepan dengan menampilkan wajah pro-demokrasi secara lebih nyata. Termasuk didalamnya melakukan fungsi kontrol sosial yang menjadi landasan moral profesinya, dengan penuh kesadaran akan resiko yang harus dihadapinya.

Mengamati segala bentuk sensor dan pembatasan yang diberlakukan, agaknya telah begitu diyakini bahwa cara-cara represif seperti ini adalah cara termudah dalam mencapai tujuan menciptakan 'stabilitas'. Masalahnya, stabilitas sejenis dan semacam apa yang dilahirkan lewat cara demikian ? Stabilitas yang kita inginkan adalah stabilitas yang terjamin dan menjamin adanya kepastian hukum. Bukan stabilitas yang dibentuk oleh kehendak segelintir orang maupun kepentingan sesaat yang semuanya bersumber pada upaya melestarikan dan melanggengkan kekuasaaan.

Tanpa adanya kebebasan, tanpa adanya transparansi, tanpa keterbukaan dan tanpa kehidupan yang demokratis, stabilitas yang dibentuk pasti hanyalah stabilitas yang semu seperti sekarang ini. Mengapa? Karena ia dibentuk dengan cara membangun rasa ketakutan rakyat dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Warga bangsa tercinta,

Sejarah menunjukkan, bahwa tanpa menumbuhkan kehidupan yang demokratis, kontrol terhadap kekuasaan menjadi sulit dilakukan. Suasana ini pun menjadi lahan subur berkembangnya keserakahan. Keserakahan telah menjadi penyakit endemik yang berkembang dengan subur dalam iklim kehidupan yang seperti kita alami sekarang. Begitu cepat daya tular penyakit serakah ini hingga mempengaruhi perilaku sebagian besar investor internasional. Sebagian bankir dan investor asingpun terlibat dalam keserakahan. Mereka seperti kehilangan profesionalisme dan daya analisa resiko. Dalam mencari mitra usaha Indonesia misalnya, mereka lebih ber-fokus pada koneksi politik yang dipercayai sebagai sumber pemasukan terbesar.

Sebaliknya dalam menyalurkan dana pinjaman ke Indonesia, sebagian besar bank asing telah mengabaikan konsep dasar pemberian pinjaman yakni asas keberhati-hatian. Meraka menjadi sangat berani memasuki wilayah permainan yang penuh spekulasi dan resiko investasi sangat tinggi. Mereka berlomba-lomba mengucurkan pinjaman secara berlebihan kedalam perekonomian yang didominasi oleh praktek korupsi secara sistematik dan terorganisir secara terbuka. Melihat hal ini, apakah hal ini merupakan indikasi telah melebarnya wilayah korupsi dan kolusi?

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,

Bertolak dari kenyataan ini, maka saya menganggap bahwa keserakahan yang sudah kelewat batas toleransi telah menyebabkan perekonomian kita menjadi babak belur dan lumpuh. Sayangnya, keserakahan ini semakin dipacu berkembang dengan tidak adanya sistim yang mampu menghalanginya. Dibidang ekonomi semuanya dibiarkan berjalan tanpa kontrol, sedangkan dibidang politik segalanya dikontrol secara ketat oleh tangan-tangan penguasa yang mengerucut kepada kepentingan seorang penguasa tunggal.

Kondisi kehidupan yang seperti ini, jelas membuat segala kebijaksanaan politik, ekonomi yang mengatas namakan demi kepentingan rakyat menjadi jauh dari kebenaran. Oleh karenanya, segala dana bantuan dan pinjaman dari institusikeuangan internasional yang katanya diperuntukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat perbaikan perekonomian rakyat, harus secara sungguh-sungguh kita amati dan cermati agar dana yang mengalir dapat tersalur kesetiap parit-parit kehidupan rakyat. Jangan sampai dana yang begitu besar jumlahnya yang diberikan negara-negara sahabat dari hasil pajak warga negaranya, apakah itu lewat Dana Moneter Internasional (IMF), CGI, Bank Dunia dan lainnya; yang jelas rakyat harus tahu, rakyat harus mengikuti, rakyat harus mengawasi dan rakyat harus pula yang harus merasakan manfaatnya.

Untuk itulah pada kesempatan ini, mewakili puluhan juta rakyat Indonesia, saya harus menyampaikan rasa terima kasih kepada negara-negara sahabat yang telah memberikan bantuannya, sekaligus mengajukan syarat-syarat pelaksanaan alokasi dana pinjaman sebagai berikut:

1. Bantuan pinjaman dari lembaga keuangan internasional tidak layak dipakai untuk menyelamatkan kerugian para pengusaha, investor dan bankir internasional yang serakah dan spekulatif;

2. Dana pinjaman dari lembaga keuangan internasional tidak boleh disalurkan kepada perekonomian yang dikelola oleh sistem pemerintah yang tidak transparan dan tidak demokratis dan terlebih lagi yang korup; 3. Sangat tidak adil dan tidak bijaksana, jika krisis ekonomi harus ditanggung oleh rakyat miskin dan kelas menengah, padahal penyebabnya adalah hanya segelintir pengusaha yang bekerja sama dengan penguasa dengan memanfaatkan pinjaman luar negeri secara membabi-buta, tanpa mengindahkan kepentingan rakyat dan negara.

Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, Tiga butir persyaratan tersebut merupakan unsur yang sangat penting untuk menanggulangi krisis ekonomi yang sekarang kita alami. Jika kita mengabaikannya, maka taruhannya adalah kewibawaan dan nasib berjuta-juta rakyat Indonesia. Dengan mengabaikannya, kita akan masuk kedalam krisis yang berkepanjangan dan sangat menyengsarakan.

Untuk mencegah terjadinya tragedi nasional tersebut, kita memerlukan pemimpin bangsa yang sadar dan memiliki rasa tanggung jawab kepada 200 juta rakyat Indonesia yang telah merelakan sumber kekayaan alam yang mereka miliki untuk dikelola dengan baik demi masa depan mereka. Untuk itu, kita harus menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa, yaitu:

¨ Pemerintah yang mampu mengambil kebijaksanaan yang sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat;

¨ Pemerintah yang para pejabatnya tidak terlibat dalam kegiatan usaha memperkaya diri melalui kolusi, korupsi dan nepotisme;

¨ Pemerintah yang dapat dan mau dikontrol oleh hukum dan rakyatnya melalui lembaga demokrasi dan lembaga peradilan.

Oleh karena itu, sikap berterus terang kepada rakyat dengan memberi pertanggung-jawaban secara terbuka mengenai sebab-sebab terjadinya krisis ekonomi dan sekaligus menjelaskan rencana-rencana penanggulangannya merupakan kebuthan mendesak yang harus segera dilaksanakan. Sudah saatnya bangsa Indonesia mengambil keputusan yang tepat guna menyelamatkan negara dan masa depan rakyat dari kehancuran yang mengerikan.

Untuk itu saya mengajak saudara-saudara melihat kenyataan terjadinya berbagai penyimpangan yang berpangkal dari keserakahan tanpa batas, korupsi, kolusi, serta sikap mau menang dan benar sendiri.

Saudara-saudaraku yang cinta kemerdekaan,

Kali ini saya mengajak saudara-saudara untuk melihat kenyataan terjadinya berbagai penyimpangan yang berpangkal dari keserakahan tanpa batas, korupsi, kolusi, serta sikap mau menang dan benar sendiri. Perihal penyimpangan dan pengingkaran terhadap hakekat dan cita-cita kemerdekaan telah membuahkan hasil nyata, yakni suatu suasana dimana kita sebagai bangsa benar-benar berada di dalam total krisis yang sangat rawan.

Andai saja, dengan modal kepercayaan rakyat yang diberikan pada para pemimpin bangsa ini, penyelenggaraan berbangsa dan bernegara benar-benar dijalankan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Pancasila, saya yakin seyakin-yakinnya kita tidak akan mengalami nasib seperti sekarang ini. Oleh karenanya, saya serukan untuk segera kembali lagi ke UUD 1945 dan Pancasila, saya yakin haqqulyakin, kita tidak akan mengalami nasib seperti sekarang ini.

Oleh karenanya, saya serukan untuk segera kembali lagi ke UUD 1945 dan Pancasila berikut pelaksanaannya secara sungguh-sungguh! Dengan kembali lagi, Rakyat harus berani menggunakan kedaulatannya, melaksanakan tuntutan dan menjabarkan tanggungjawabnya dengan meminta pertanggung jawaban pemerintah atas berbagai penyimpangan yang telah dilakukannya dan yang tidak sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat sebagaimana di amanatkan UUD 1945 dan Pancasila.

Rakyat Indonesia sebagai warga dari sebuah negara hukum dan insan beragama, saya ingatkan untuk tidak tidak melakukan kultus individu terhadap seseorang, apalagi bila hal itu dilakukan secara berlebihan. Perilaku ini jelas bertentangan dengan hakekat hidup seorang manusia yang beriman. Mengingat dampak dari perilaku yang memprihatinkan ini, adalah hilangnya kepercayaan dan harga diri seseorang sebagai manusia merdeka, yang pasti digantikan oleh rasa ketergantungan, ketakutan yang berlebihan dan terkikisnya keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa.

Hilangnya keberanian berpihak pada kebenaran dan keadilan yang digantikan rasa ketakutan yang berlebihan terhadap penguasa dan kekuasaan, adalah merupakan bentuk pengingkaran sebagai insan beriman dan umat beragama maupun sebagai warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya. Oleh karenanya, jangan ragu-ragu untuk dengan tegas mengatakan yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar.

Berpegang pada moral dan budi pekerti ini yang diwariskan oleh para pendiri republik kita, sudah tiba pada waktunya bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menentukan sikap dan pilihan akan kemana bangsa ini dibawa dan diarahkan.

¨ Apakah bangsa ini akan dibawa dan diarahkan pada satu keadaan dimana seluruh kekayaan alam dan kekayaan yang dimiliki negeri ini hanya dapat dinikmati oleh sekelompok golongan masyarakat dan dinasti tertentu? ¨ Apakah kita memang telah merelakan negeri ini dibawa kemana saja dengan menjadikan rakyat sebagai "bebek-bebek" yang rapih berbaris dalam keadaan dibutakan segalanya? ¨ Apakah kita juga mau terus menerus , membiarkan para pemimpin yang sudah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya untuk terus tetap memimpin bangsa ini? ¨ Apakah memang kita sudah tidak mampu lagi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih segar, -- yang lebih tegar, -- dan yang lebih bersahaja dan mau mendengarkan cerita dan suara hati rakyatnya?

Jawaban akan semua ini, berpulang kepada diri kita, jati diri kita sesungguhnya sebagai Rakyat Indonesia.

Hanya saja kepada mereka yang selalu merekayasa statusquo lewat semboyan "Perubahan Tanpa Perbaikan dan Perbaikan Tanpa Perubahan", saya ingatkan bahwa Hukum Tuhan, Hukum Alam dan Hukum Ilmiah berada dibelakang perjuangan untuk perubahan. Sejarah menjadi saksi dan memberikan bukti selama ini, diseluruh dunia.

Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air,

Dibagian ini, ijinkanlah saya berbicara dari lubuk hati saya yang paling dalam, menyatakan keprihatinan saya terhadap krisis yang sedang berjalan sekarang ini. Dalam amatan saya krisis kali ini, tidak mungkin dapat ditanggulangi tanpa tumbuhnya kesadaran melakukan pembaharuan, perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bila selama ini, di saat dan semasa presiden Soeharto berada dalam kondisi kesehatan yang baik, telah mencoba menjalankan tugasnya dengan baik, maka pada kondisinya yang tidak memungkinkan seperti sekarang ini, sangatlah tidak bijak dan penuh spekulatif serta sangat tidak bertanggung jawab bila masih ada pihak-pihak yang memaksa kehendak untuk mendudukkannya kembali dalam bangku kepresidenan masa lima tahun mendatang.

Berilah waktu beliau untuk beristirahat, -- berilah pula pada beliau waktu untuk hidup kembali sebagai rakyat biasa. Karena saya yakin sepenuhnya bahwa beliau tidak menginginkan dirinya menjadi presiden seumur hidup. Hal ini saya nyatakan dan yakini, berdasarkan sikap beliau sendiri yang tidak menghendaki presiden Republik Indonesia pertama, Bung Karno, diangkat sebagai presiden seumur hidup. Sebagai seorang perwira yang berjiwa satria pasti tidakakan melakukan segala sesuatu yang pernah ditentang dan dijadikan pantangannya.

Kepada mereka yang ragu akan sikap Pak Harto ini, dalam kesempatan ini saya ingatkan, ada saatnya seseorang harus mengetahui bahwa dirinya adalah manusia biasa. Apakah dia bernama Soekarno ataukah dia bernama Soeharto, sebagai manusia biasa memiliki kekurangan dan kelemahan sebagai manusia. Sebagai manusia, siapapun orangnya pasti tidak luput dari masalah usia yang berdampak pada menurunnya kadar fisik dan pikiran pada saat memasuki usia lanjut.

Bangsa kita harus belajar dari sikap pemimpin negara tetangga kita Singapura, Lee Kuan Yew, yang secara dini menyadari keterbatasannya sebagai manusia dan dengan tulus ikhlas melakukan regenerasi kepemimpinan nasional. Bahkan kitapun dapat belajar dari masyarakat yang relatif baru, seperti Afrika Selatan, dimana pemimpin yang masih dicintai rakyatnya, Nelson Mandela, yang dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab mengumumkan secara terbuka estafet kepemimpinan nasional kepada penerusnya yang berasal dari generasi yang lebih muda.

Saudara-saudaraku pemilik negeri dan masa depan bangsa,

Tidak adanya jaminan dan tanda-tanda yang mengarah kepada suksesi kepresidenan Republik Indonesia secara damai merupakan faktor dominan timbulnya berbagai keresahan dan berbagai ketidak pastian. Hal mana berdampak pada perekonomian kita yang menjadi rawan digerogoti ketidak pastian itu. Bayangan akan terjadinya suasana kisruh yang ditimbulkan oleh kemungkinan terjadinya keadaan Presiden berhalangan tetap adalah pemicu utama yang membuat berbagai sektor kehidupan, baik politik maupun dan terlebih lagi ekonomi berada dalam titik keresahan yang tinggi.

Oleh karenanya, sangatlah manusiawi bila usaha mencalonkan kembali Jenderal (Purn) Soeharto yang telah menjabat sebagai Presiden RI selama 32 tahun sebagai calon tunggal ketujuh kalinya, akan menambah krisis kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia sebagai negara potensial dalam upaya pengembangan perekonomian bilateral maupun multilateral.

Gejala ini dapat kita baca dengan jelas dengan merosotnya nilai mata uang rupiah secara drastis ketitik yang paling rendah selama tiga puluh tahun terakhir ini. Seiring dengan hanjloknya mata uang rupiah secara drastis, perusahaan-perusahaan di Indonesia akan mengalami kebangkrutan masal. Harga saham dipasar modal akan melorot dengan pesat, karena para investor akan meninggalkan Indonesia.

Selanjutnya pengangguran akan merajalelea, kriminalitas akan meningkat dan harga bahan pokok tidak akan terjangkau oleh masyarakat luas. Dalam keadaan seperti ini, pasti akan terjadi eksodus dana dan kekayaan yang sangat besar keluar dari Indonesia. Bangsa Indonesia pun akan kehilangan potensi dan kesempatan yang dimilikinya. Sebagai akibat, Rakyat yang selama ini tidak dilibatkan dalam menentukan berbagai kebijakan dibidang ekonomi, mau tidak mau pasti menanggung beban penderitaan yang ditimbulkan oleh keadaan krisis yang kian tak menentu ini.

Padahal, sebagaimana Penjelasan Undang-Undang Dasar negara kita, bagaimana cara Rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh Rakyat itu sendiri. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Kedudukan Rakyat harus lebih kuat dari pada kedudukan Pemerintah. Ini lah tanda kedaulatan rakyat.

Bila kita berpegang pada amanat ini, niscaya krisis yang melanda perekonomian kita tidak sampai membenamkan kita kedalam suasana kalut tak menentu seperti yang terjadi sekarang. Karena Rakyat pasti bersatu padu bahu membahu, bergandeng tangan dengan para pemimpinnya, dan secara bersama mengatasi berbagai krisis, seberat apapun beban yang menimpa kehidupan bangsa. Tanggung jawab dan rasa saling memiliki yang demkian, sekarang ini sepertinya sulit untuk dibangkitkan. Karena ia telah lama dimatikan oleh perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah meninggalkan roh dan jiwa dari cita-cita dan tujuan Indonesia merdeka.

Saudara-saudarku sebangsa dan setanah air,

Setelah menguraikan kondisi dan penyebab krisis yang kita alami, maka saya menganggap perlu agar kita segera melakukan penyelamatan bangsa dan negara dari krisis yang berkepanjangan. Maka pada kesempatan ini saya menghimbau kepada seluruh rakyat Indonesia:

1. Tidak lagi mencalonkan kembali Soeharto menjadipresiden ke-7 kalinya. Karena masa jabatan seorang presiden yang lebih dari 30 tahun cenderung menjurus pada upaya menjadikan diri Presiden Soeharto sebagai presiden seumur hidup. Bangsa Indonesia tidak boleh melakukan kesalahan untuk kedua kalinya;

2. Mempersiapkan suksesi kepemimpinan nasional secara damai agar bangsa Indonesia mampu keluar dari krisis kepercayaaan;

3. Melakukan reformasi ekonomi dan politik, harus dijalankan dalam rangka memenuhi tuntutan Amanat Penderitaan Rakyat, agar rakyat Indonesia mampu keluar dari krisis ekonomi tanpa kehilangan wibawa sebagai bangsa yang merdeka.

4. Laksanakan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila secara bersungguh-sungguh, penuh kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Kita harus kembali lagi ,-- sekali lagi saya tegaskan, kita harus kembali lagi ke UUD 1945 dan Pancasila.

Menyangkut masalah kepemimpinan nasional, kita harus yakin dan percaya, bahwa diantara 200 juta rakyat Indonesia pasti ada yang mampu tampil sebagai pemimpin baru bangsa. Kita mempunyai sejumlah nama yang sering disebut-sebut sebagai putra terbaik Indonesia yang mampu menjabat Presiden Republik Indonesia yang akan datang. Sebut saja seperti; Try Soetrisno, R. Hartono, Wiranto, BJ. Habibie, Ginanjar Kartasasmita, Soedharmono, Rudini, dan masih banyak lagi tokoh masyarakat yang lain.

Akan tetapi apabila saudara-saudara kita yang namanya telah saya sebutkan tadi tidak ada keberanian dalam diri mereka untuk secara terbuka mencalonkan maupun dicalonkan sebagai Presiden Indonesia menggantikan Jenderal Purnawirawan Soeharto, hal ini merupakan peristiwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat memprihatinkan.

Oleh karenanya, bila ternyata memang tidak ada keberanian dari mereka, maka dalam kesempatan ini, saya dengan tulus dan ikhlas menyatakan ketidak beratan saya untuk memimpin negeri dan bangsa ini, bila hal tersebut memang telah menjadi kehendak dan tuntutan rakyat.

Sebagai penutup, saya mencoba mengingatkan kepada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, bahwa sejarah telah mengajarkan bangsa kita pada saat Bung Karno masih menjabat presiden Republik Indonesia, kita pernah menyangsikan - sepertinya tidak ada seorangpun yang dapat menggantikannya. Ternyata sejarah membuktikan lain !

Bung Karno dengan segala kebesarannya, rela dan ikhlas melepaskan seluruh jabatan serta mengorbankan segala yang ia miliki demi memenuhi tuntutan jaman dan harapan terjadinya pembaharuan dan perbaikan.

Karena kepada saya, Bung Karno pernah berpesan dimasa akhir hayatnya;

"…. Anakku, simpan segala yang kau tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat, biarkan aku yang menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini aku lakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan dan kejayaan bangsa. Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seseorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa !…."

Sekian sambutan saya dan Merdeka ! Merdekalah selamanya! Wassalaamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Megawati Soekarnoputri Ketua Umum DPP-PDI


Pernyatan Keprihatinan
19 Peneliti LIPI

Akumulasi krisis yang melanda bangsa kit telah sampai ke suatu titik yang

membuat kami, 19 peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), merasa perlu untuk menyatakan keprihatinan. Pernyataan keprihatinan ini kami sampaikan sebagai cermin dari suara hati dan nurani rakyat, kepada mereka yang selama ini mata dan kata hatinya telah terbutakan dari kenyataan-kenyataan di sekeliling kita.

Dalam pembacaan kami atas krisis sekarang ini, masyarakat kelas bawah yang paling menderita. Sementara harga-harga menaik terus, upah buruh harian turun drastis sehingga penghasilan mereka sesungguhnya tak lagi mencukupi untuk mempertahankan harkat diri mereka sebagai rakyat suatu negara yang dinyatakan telah berswasembada pangan. Setiap hari, jumlah pengangguran meningkat, sementara tidak ada tanda-tanda ke arah perluasan kesempatan kerja.

Kini, setiap rumah tangga mengalami kemerosotan kualitas kehidupan, karena penghasilan yang berkurang atau tetap menjadi berbanding terbalik dengan peningkatan harga barang-barang kebutuhan pokok. Lebih dari sekedar aspek ekonomi, harga-harga yang tak menentu telah melampui ambang batas pengendalian diri masyarakat, membuat mereka sanggup "memakan" sesama saudara sebangsa. Solidaritas sosial turun ke titik nadir, sehingga kehidupan berbangsa menjadi kehilangan maknanya.

Sementara itu, pengelola kekuasaan negara telah membutakan nurani mereka, dan menganggap seolah-olah kehidupan bangsa ini berjalan seperti biasa. Sebagai akibatnya, pemerintah menjadi lembam, stubborn dan jumud. Krisi tidak diatasi dengan kearifan kenegarawanan, tetapi malah dijawab dengan mencari kambing hitam. Fakta tidak dijawab dengan alternatif pemecahan, tetapi ditanggapi dengann kecaman. Tidak ada satupun pengelola kekuasaan negara yang bertanggung jawab, bahwa krisis yang terjadi adalah akibat dari akumulasi kesalahan kebijakan pembangunan.

Setiap konstribusi pemikiran dari luar lingkaran pengelola kekuasaan negara selalu ditanggapi dengan penuh purbasangka dan kecurigaan, bukan dengan kelegaan atas meluasnya partisipasi. Ruang publik sudah tertutup, sehingga pengelola kekuasaan negara tidak lagi memiliki kendali atas kekuasaan yang dipegangnya.

Pengelola kekuasaan negara lebih percaya pada konstribusi pemikiran asing ketimbang sumber daya nasional sendiri. Sebagian terpenting program reformasi IMF, misalnya, sudah sejak lama disuarakan berbagai kalangan di dalam negeri. Pengelola kekuasaan negara telah menutup mata hati dan nuraninya. Mereka telah mengabaikan kedaulatan rakyat.

Kami berkesimpulan, bahwa krisis yang melanda bangsa ini memiliki akar-akar serta implikasi yang lebih mendalam dari sekedar persoalan ekonomi. Yang kita hadapi adalah krisis harkat diri sebagai suatu bangsa. Kami menilai, pengelola kekuasaan negara telah gagal menjalankan amanat rakyat. Oleh sebab itu, kami menganggap perlunya pergantian kepemimpinan nasional yang mampu menjamin terlaksananya pembaruan yang komprehensif dalam bidang ekonomi dan politik secara damai. Lebih dari sekedar untuk memulihkan perekonomian, penyegaran kepemimpinan nasonal akan memulihkan harkat diri kita sebagai suatu bangsa.

LIPI Jakarta, 29 Januari 1998

Penandatangan: *Dra. Adriana Elisabeth, MsocSc * Dr. Asvi Warman Adam *Dra. Awani Irewati, MA. *Drs. Dhuroruddin Mashad * Edison Muchlis, SH *Dra Ganewati Wuryandari, MA *Dra. Hargyaning Tyas. *Dr. Hermawan Sulistyo, MA *Drs. Heru Cahyono *Dr ikrar Nusa Bhakti *Drs. M Hamdan Basyar *Drs. Moch. Nurchasim *Drs. M. Riefqi Muna, MdefStud *Dr M Riza Sihbudi *Drs Muhammad Rum *Drs Muridan S. Widjojo *Dra. R. Siti Zuhro, MA *Dra Sri Yanuarti *Drs Syamsudin Haris.


Pertisi Ornop
untuk Penyelesaian Krisis
Secara Konstitusional

Bersama ini, kami sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat menyampaikan petisi kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai lembaga negara tertinggi, sehubungan dengan krisis yang melanda Indonesia saat ini, untuk:

1. Mendesak pemerintah menjalankan Amanat Penderitaan Rakyat dalam waktu dekat, dengan mengambil tanggung jawab sepenuhnya atas penyelesaian krisis ini dengan:

(1) menurunkan harga barang-barang; (2) melanjutkan operasi pasar secara intensif dan seksama hingga harga-harga terjangkau olehd aya beli rakyat' (3) menghentikan upaya-upaya yang melibatkan rakyat untuk turut bertanggujawab terhadap krisis ini seperti GENTA dan GETAR.

2. Sesegera mungkin menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR RI untuk meminta per- tanggujawaban Presiden mandataris MPR, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Ketetapan MPR RI No. 1/MPR/1988 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR RI No. 1/MPR/1983 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR.

Tuntutan-tuntutan kami di atas didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

Krisis yang terjadi sekarang ini menunjukkan kepada kita bahwa ada fungsi negara yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan kuatnya penetrasi dan dominasi penguasa terhadap segala aspek kehidupan di negara ini, sehingga negara lebih menjadi perwujudan dari kepentingan sekelompok penguasa negeri ini.

Terlihat pada kondisi perekonomian kita sekarang, semua orang itdak dapat mem- bantah bahwa kehancuran perekonomian kita adalah dikarenakan rusaknya sistem ketatanegaraan kita. Hukum yang merupakan kekuatan yang paling signifikan di dalam menjalankan negara menjadi sub-ordinat dari kekuasaan pemerintah.

Bahkan, tidak jarang hukum menjadi alat penguasa dalam memperbesar kekuasaan pemerintah.

Munculnya krisis moneter yang mengakibatkan krisis ekonomi membuka mata kita bahwa yang menjadi pelaku utama dalam pembentukan situasi ini adalah para penguasa yang menjalankan sistem kekuasaan dengan semena-mena. Tentunya sistem yang dijalankan dengan semena-mena ini tidaklah berdiri sendiri. Hal ini didasarkan pada adanya rantai kepentingan yang erat antara penguasa dan pengusaha dalam meraup keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan rakyat.

Pasal 4 UUD 1945 menyatakan bahwa: "Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan menurut UUD". Kekuasaan pemerintahan tersebut diberikan oleh MPR RI, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, untuk menjalankan UUD serta garis-garis besar daripada haluan negara (vide Pasal 3 UUD 1945). Dalam rangka menjalankan haluan-haluan tersebut, Presiden harus mempertanggungjawabkan kepada MPR pada akhir masa jabatannya dalam suatu sidang Umum MPR.

Apabila dalam masa jabatannya terdapat penyimpangan terhadap haluan-haluan ne- gara, maka MPR dapat meminta pertanggung jawaban Presiden, dalam suatu Sidang Istimewa MPR RI (Vide Pasal 1 butir 3 KETETAPAN MPR RI NO.1/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas ketetapan MPR RI No.1/MPR/1983 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR).

Penyimpangan di atas menjadi lebih tampak jelas dengan menandatangani perjanjian hutang dengan IMF (Letter of Intent), tanpa sama sekali meminta masukan dan pendapat dari rakyat. Tindakan pemerintah untuk menandatangani perjanjian hutang dengan IMF (International Monetary Fund) tanpa meminta persetujuan kepada wakil rakyat adalah merupakan kesalahan prosedural hukum ketatanegaraan. Seharusnya peemrintah bertanya kepada rakyat terlebih dulu apakah rakyat Indonesia ingin Pemerintah menandatanganinya atau tidak, mengingat begitu luar biasa penderitaan dan dampak sosial yang harus ditanggung rakyat sebagai implementasi perjanjian tersebut.

Dalam Pasal 11 UUD 1945 ditentukan bahwa: "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain". Dari ketentuan konstitusi di atas jelas, bahwa sebelum penandatanganan Letters of Intent, Presiden seharusnya meminta persetujuan DPR terlebih dahulu. Selain itu penandatanganan Letter of Intent tersebut juga bertentangan dengan surat Presiden kepada ketua DPR perihal Perjanjian-perjanjian dengan negara lain tertanggal 22 Agustus 1960, yang selama ini dijadikan landasan hukum oleh Pemerintah dalam menandatangani perjanjian-perjanjian internasional. Pada butir surat tersebut ditentukan bahwa:

"Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut di atas pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian, yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan, sebelumnya disahkan oleh Presiden, ialah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut:

a...

b. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri negara, dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian-perjanjian kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang".

Disamping itu dalam pasal 23 UUD 1945 ditentukan bahwa:

"APBN ditetapkan tiap-tiap tahun dengan UU. Apabila DPR tidak menyetujiui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran anggaran tahun lalu". Dari ketentuan tersebut jelas bahwa pemerintah berkewajiban untuk membuat suatu RAPBN, yang untuk selanjutnya dibawa ke DPR-RI untuk mendapat persetujuan.

Dengan demikian, sebelum Letter of Intent ditandatangani, seharusnya Letter of Intent itu dimasukkan dahulu ke dalam RAPBN dan selanjutnya meminta persetujuan dari DPRRI, untuk kemudian ditandatangani dan disahkan oleh Presiden, kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang.

Selain itu umum diketahui bahwa IMF bagaimanapun adalah sebuah institusi yang berorientasi pada keuntungan. Mereka tidak akan memberikan pinjaman kalau tahu tidak akan memberikan keuntungan kepada mereka. "Reformasi Ekonomi" yang diusulkan oleh mereka sesungguhnya adalah satu upaya untuk memberikan "jaminan" agar Indonesia dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Mereka samasekali tidak peduli dengan apapun penderitaan yang harus diemban rakyat Indonesia. Dalam hal ini kita boleh bellajar dari Korea Selatan yang tidak serta merta menerima mentah-mentah program "reformasi ekonomi" yang diberikan IMF. Merka berani "menawar", dan dan dengan dukungan seluruh rakyatnya -yang sungguh luar biasa- mulai lagi membangun negaranya dari nol.

Rakyat Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang sungguh pro rakyat. Depolitisasi rakyat dengan politik massa mengambang; regimentasi partai politik dan ormas; kecurangan-kecurangan politik terhadap aspirasi politik rakyat; dsb, sudah merupakan sesuatu yang usang, karena terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat ketika terjadi krisis seperti ini. Rakyat sekarang lebih membutuhkan tindakan nyata dan kongkret yang dapat langsung dirasakan oleh rakyat, Krisis ekonomi yang dirasakan sekarang ini sudah bukan hanya krisis ekonomi semata, tetapi telah mengakibatkan krisis yang lebih luas lagi. Reformasi eekonomi tidak akan pernah berhasil tanpa reforamasi politik. Singkatnya, rakyat membutuhkan figur-figur pemimpin baru yang dapat dipercaya, tidak hanya oleh rakyat Indonesia tetapi juga masyarakat internasional, untuk mengatasi krisis di atas, sehingga beban dan penderitaan rakyat tidak akan semakin lebih berat lagi.

Demikian pernyataan sikap kami, dengan didasarkan kepada nurani dan akal pikiran yang sehat dan demi kepentingan rakyat semua.

Jakarta, 21 Januari 1998

LSM yang mengajukan petisi:

YLKI, YLBHI, LBH Jakarta, LBH APIK, LPBH-FAS, PBHI, PBJ, AFR, GUGUS ANALISIS, LPIST, INFID, SOLIDARITAS PEREMPUAN, SEKRETARIS BINA DESA, LPHAM, KIPP, YMK, KALYANAMITRA.


Pesan Moral Idul Fitri 1 Syawal 1418 H
Aliansi Organisasi Kemasyarakatan Pemuda/Mahasiswa
dan Lembaga Swadaya Masyarakat

Idul Fitri merupakan momentum bagi manusia secara keseluruhan untuk kembali kepada kesucian kemanusiaan; bahwa manusia diingatkan pada tanggung jawab secara vertikal (Tuhan) dan horisontal (manusia dan alam semesta). Idul Fitri juga mengandung pesan-pesan kemanusiaan berupa penciptaan kehidupan yang berkeadilan, berkedamaian, saling menghargai diantara sesama. Dalam suasana Idul Fitri kali ini bangsa Indonesia menghadapi persoalan yang membutuhkan perhatian seluruh rakyat, hal mana terjadinya krisis moneter yang berkepanjangan memberikan implikasi pada krisis kepercayaan terhadap penanggung jawab dan penyelenggara negara ("Mandataris" Majelis). Pada sisi lain krisis moneter yang melemahnya nilai mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, juga berimplikasi naiknya harga sembilan bahan pokok (Sembako) yang sudah barang tentu sangat membebani rakyat. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya penyelesaian secara sungguh-sungguh dari setiap komponen bangsa. Upaya penyelesaian krisis bangsa ini tidak dapat ditunda-tunda lagi. Dengan demikian reformasi politik, ekonomi dan hukum adalah suatu keharusan. Dalam upaya reformasi politik, ekonomi, dan hukum bukan hanya sekedar lips service akan tetapi harus dilaksanakan melalui tindakan-tindakan yang konkret dan dapat dirasakan manfaatnya bagi rakyat. Untuk itu diperlukan kesadaran bagi seluruh rakyat untuk tidak saling mendiskreditkan, apalagi memanfaatkan isu-isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) untuk kepentingan politik sesaat. Hal ini perlu ditekankan agar bangsa Indonesia tidak terjebak pada politik "kambing hitam" yang selama ini dijalankan dan untuk itu harus segera dihentikan. Politik "kambing hitam" bukanlah inti dari persoalan yang dihadapi bangsa dan tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan politik "kambing hitam" justeru akan memperkeruh keadaan dan memicu terjadinya proses disintegrasi bangsa yang sudah barang tentu rakyatlah yang menjadi korban. Oleh karena itu atas dasar kesadaran dan penuh tanggung jawab kepada bangsa dan Negara Indonesia, kami menghimbau kepada penyelenggara negara dan segenap komponen bangsa agar dalam mencari solusi atas krisis bangsa ini tidak mengorbankan rakyat, sekali lagi tidak mengorbankan rakyat. Demikianlah Pesan Moral Idul Fitri 1 Syawal 1418 H, semoga bermanfaat bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Aliansi Ormas Pemuda/Mahasiswa dan LSM mengucapkan "SELAMAT IDUL FITRI 1 SYAWAL 1418 H".

Jakarta, 28 Januari 1998

A. BASKARA --------------------------------- Sekjend DPP GMNI
MULYANA W. KUSUMAH ----------------- Sekjend KIPP
BARITA L.H. SIMANJUNTAK ------------- Sekretaris Umum PP-GMKI
B.Y. WIDYANKRISTYOKO --------------- Ketua Harian PIJAR INDONESIA
DICKY M. MAILOA ------------------------ Ketua Umum DPP-GAMKI
YANA DEWATA ----------- Ketua Umum DPP PEMUDA DEMOKRAT
TUMPAL SIHITE ------------- LPBH-FAS
RIZA PRIMAHENDRA ----------------- Ketua Presidium PP-PMKRI
NYOMAN PARTA ----------- Wakil Sekjend PP-KMHDI
CHATIBUL U. WIRANU ------------------ Ketua PB-PMII
WIDI WAHYU WIDODO ----------------- Ketua PUSPIPAM
DESMON J. MAHESA ----------------- Dir. LBHN JAKARTA
A. KAMAL KAMAL --------------- POKJA - FKMIJ


Pernyataan Sikap Mahasiswa
Universitas Indonesia
Perkembangan situasi Indonesia belakangan ini telah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan. Kondisi ini bahkan dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan yang telah terbina selama ini. Hal ini tentu saja akan sangat merugi- kan dan menyengsarakan rakyat sebagai pemilik sah republik ini. Keprihatinan ini berawal dari krisis ekonomi yang melanda negeri ini. Akan tetapi, krisis tersebut tidaklah terjadi begitu saja. Kebangkrutan negara berawal dari kesalahan-kesalahan yang dibuat Orde Baru. Korupsi merajalela, ne- potisme, pemihakan modal pada sekelompok orang, ketidakpastian hukum dan repre- si terhadap hak-hak politik rakyat yang merupakan wujud lemahnya moralitas para penyelenggara negara terhadap komitmen kerakyatan tersebut adalah sumber dari segala krisis ini. Rakyat telah memberi kesempatan yang cukup bahkan cenderung berlebihan pada Pemerintah untuk membangun republik tercinta ini. Akan tetapi, perkem- bangan situasi politik dan ekonomi belakangan justru menyengsarakan rakyat. Hal ini membuktikan bahwa infrastruktur dan suprastruktur ekonomi dan politik bang- sa tidak mampu lagi mengakomodasi kepentingan-kepentingan rakyat. Oleh karena itu, Orde Baru secara sadar dan damai harus mundur dari pemerintahan negeri ini karena telah gagal menjalankan amanat rakyat. Berdasarkan kenyataan diatas maka dengan ini Kami menyatakan:

1. MENUNTUT PEMERINTAH MENYEDIAKAN SEMBILAN BAHAN POKOK DENGAN HARGA MURAH DAN SECEPATNYA MENGATASI MASALAH PENGANGGURAN.

2. MENUNTUT REFORMASI POLITIK SEBAGAI PRASYARAT REFORMASI MENYELURUH DENGAN:

(a) MEWUJUDKAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM BERPOLITIK MELALUI ORGANISASI MASSA DAN ORGANISASI SOSIAL POLITIK (b) CABUT SEMUA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGEKANG KEBEBASAN RAKYAT UNTUK BERSERlKAT, BERKUMPUL DAN MENGELUARKAN PENDAPAT SECARA LISAN MAUPUN TULISAN. (c) KEMBALIKAN FUNGSI LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA SEBAGAI ABDI RAKYAT.

3. MENUNTUT SUKSESI KEPEMIMPINAN NASIONAL SEBAGAI SYARAT MUTLAK REFORMASI POLITIK.

4. MENUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN ATAS KRISIS EKONOMI, SOSIAL DAN POLITIK YANG TERJADI SAAT INI.

5. MENYERUKAN KEPADA SELURUH MAHASISWA INDONESIA UNTUK BERSATU BERSAMA-SAMA RAKYAT MEMPERJUANGKAN REFORMASI.

POKJA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

ATAS MANDAT BPM UI

TAP NO. VI/BPM UI/I/1998

TURUT MENYEPAKATI: 1. SM FKM-UI, Firmansyah (Sekum) 2. SM FE-UI, Mohamad Dian Revindo (Ketua) 3. SM FH-UI, Rival Gulam Ahmad (Sekum) 4. SM FS-UI, Dede Suryadi (Ketua) 5. SM FISIP-UI, Nicky Charles (Pjs. Ketua) 6. SM FT-UI, Yudi Sudewo (Ketua) 7. SM FASILKOM-UI, Adianto Wibisono (Ketua)


Pernyataan Sikap Keluarga Mahasiswa ITB Mengenai Krisis Ekonomi Indonesia
Setelah banyak krisis sosial terjadi di Indonesia yang berupa gejolak sosial (Tanjungpriok, Jakarta, Tasikmalaya, Situbondo, Sampang, Banjarmasin, dan tempat lainnya) dan bencana-bencana kebakaran hutan , kekeringan dan kematian massal Jayawijaya, kini bangsa Indonesia dihadapkan pada bencana ekonomi terbesar selama masa 30 tahun lebih. Sakitnya perekonomian Indonesia yang tak kunjung sembuh ini merupakan sebuah akumulasi dari berbagai ekses penerapan srategi pembangunan, dengan pola-pola pembangunan ekonomi sentralistik, ketergantungan berlebihan terhadap pihak luar , tak adanya perwujudan "pemerintahan yang bersih" dengan sungguh-sungguh, kesemuanya telah melenceng dari nilai-nilai dasar perekonomian bangsa.

Adanya kekalutan dalam masyarakat dengan semakin tak terkontrolnya penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika, ditambah pula dengan adanya pendistribusian barang yang tak jelas dengan praktek monopoli didalamnya membuat harga barang melonjak drastis. Terjadinya antrean pada pembelian sembilan bahan makanan pokok, penurunan daya beli masyarakat dan dengan matinya dunia usaha mengakibatkan pula bertambahnya jumlah pengangguran, dan sektor-sektor kehidupan lain yang

menunjukkan bahwa infrastruktur perekonomian kita lemah. Kesemuanya itu membuat rakyat kian melarat dan menderita.

Melihat fakta diatas yang tidak didukung oleh sikap yang jelas dari pihak pengelola negara dan waktu penyelesaian yang realistis pada krisis terbesar yang menimpa Indonesia, maka kami, Keluarga mahasiswa ITB,

a.. Menuntut dihentikannya retorika politik yang digunakan sebagai bentuk penyelesaian krisis oleh pemerintah. 1.. Menuntut adanya transparansi sejelas-jelasnya terhadap penyelesaian krisis yang kongkret dan logis. 2.. Menuntut DPR untuk meminta pertanggungjawaban terhadap langkah-langkah pemerintah dalam penyelesaian krisis 3.. Mengajak kepada seluruh mahasiswa Indonesia untuk bersama-sama menyikapi permasalahan bangsa ini. Demikian pernyataan sikap ini kami buat dengan memperhatikan masa depan

bangsa Indonesia yang kami cintai.

Demi Tuhan, Bangsa dan Almamater

Bandung, 14 januari 1998

atas nama Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

KONGRES MAHASISWA-ITB FORUM KETUA HIMPUNAN JURUSAN (FKHJ) ITB

Yan Ardiansyah, Koordinator Yunandar, Pjs. Sekjen


KELOMPOK FATMAWATI Jl. Fatmawati No. 1 D Jakarta Selatan Telp. 765-9140

Statement tentang Reformasi Paripurna
dan Penggantian Presiden

Kami dari organisasi-organisasi dan pribadi-pribadi yang disebut di bawah ini, demi rasa tanggung jawab terhadap nasib Negara, Bangsa dan Rakyat, dengan ini menyatakan sebagai berikut:

1. Bahwa kami menyambut dengan penuh semangat pertemuan yang dihadiri oleh: Ny. Supeni, Ali Sadikin, Frans Seda, Amien Rais, Sabam Sirait, Sri Edi Swasono, Soerowo Abdoelmanap, Dahlan Ranuwihardjo, H.M. Sanusi, Sunarkha dan Apoel Batubara pada tanggal 28 Oktober 1997, yang menghasilkan persepsi dan pandangan yang sama:

1.1. Bahwa krisis ekonomi moneter yang melanda Indonesia telah menimbulkan krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah sebagai produk sistem politik selama ini.

1.2. Bahwa kondisi Perbankan dan Keuangan yang amburadul karena pembinaan dan kontrol yang sangat lemah, sehingga portofolio perkreditan dalam negeri terlebih utang luar negeri terutama utang swasta tidak berada lagi dalam rentang kendali karena hubungan kuat antara elit kekuasaan dan elit pengusaha yang membuat bersimaharajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme.

1.3. Menyokong upaya mempertemukan Amien Rais dengan Megawati Soekarnoputri guna menggalang penyatuan aspirasi rakyat yang telah tumbuh pesat dalam masyarakat, serta mendukung sepenuhnya kesediaan Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais untuk dicalonkan sebagai Presiden RI 1998 - 2003 sebagaimana dinyatakan dalam Pernyataan Bersama tanggal 15 Januari 1998 ketika Kelompok 28 Oktober mempertemukan Amien Rais dan Megawati Soekarnoputri di rumah Ny. Supeni di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

2. Bahwa kondisi yang serba kelabu yang mewarnai kehidupan Negara dan Bangsa kita belakangan ini berikut peringatan-peringatan dari Allah Yang Maha Kuasa, diantaranya berupa pelbagai musibah dan bencana yang sudah terjadi, semuanya ini hendaknya menyadarkan para Pemimpin Bangsa yang benar-benar mempunyai rasa tanggung jawab atas nasib Negara dan Rakyat, bahwa sekarang ini sudahlah tiba saatnya terhadap Orde Baru yang sudah berusia 30 tahun lamanya dilakukan Reformasi Paripurna di bidang Politik, Ekonomi, Kebudayaan, Hukum dan lainnya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

3. Dalam rangka Reformasi tersebut, kami menyampaikan penghargaan atas Pidato yang disampaikan oleh Presiden H.M. Soeharto pada Peringatan HUT Golkar ke-33 pada tanggal 19 Oktober 1997, yaitu bahwa beliau tidak ingin menjadi penghalang suksesi dan regenerasi kepemimpinan Bangsa serta menolak kepercayaan rakyat yang semu. Oleh karena itu, kalau para pemimpin kekuatan-kekuatan politik berikut para anggota MPR benar-benar berkehendak menyuarakan aspirasi rakyat, seharusnya mereka tidak memaksa Presiden HM Soeharto untuk menjabat Presiden lagi periode 1998-2003.

4. Melanjutkan jabatan Jenderal Besar HM Soeharto sebagai Presiden periode 1998-2003 adalah bertentangan dengan jiwa, semangat dan bunyi pasal (7) UUD 1945. Sesuai dengan jiwa dan semangat Negara kita yang berbentuk Republik, penggantian Presiden adalah hal yang layak, patut dan wajar dan sekali-kali tidak boleh dihindari, maka Jenderal Besar H.M. Soeharto tidak boleh dicalonkan dan mencalonkan diri lagi untuk jabatan Presiden periode 1998-2003,.

5. Bahwa dalam situasi dan kondisi Bangsa dan Negara dewasa ini, khusus kepada ABRI sebagai kawan seperjuangan, kami ingin menyerukan agar ABRI sebagai prajurit pejuang dan sebagai abdi rakyat dituntut untuk menampilkan secara nyata yang mampu melakukan terobosan dalam rangka Reformasi Paripurna tersebut demi Keselamatan Republik Pancasila tercinta ini.

Lagipula, sudah sejak awal 1979 Forum Studi dan Komunikasi TNI di bawah pimpinan KSAD Almarhum Jenderal TNI Widodo pernah menyampaikan gagasan tentang Persiapan Suksesi akibat kegagalan Orde Baru dalam mengemban AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Kepada jajaran ABRI diimbau untuk menyegarkan kembali Pedoman Dwi-fungsi yang pernah dicanangkan oleh Pimpinan TNI-AD yang diantaranya menggariskan:

a) Politik yang dijalankan oleh TNI/ABRI adalah politik UUD 1945, bukan politik golongan dan juga bukan politik TNI/ABRI sebagai golongan.

b) Dalam mencapai tujuan politik, tidak boleh digunakan kekuatan senjata, atau menyalahgunakan kekuasaan sebagai supra struktur politik.

c) Dalam melakukan kegiatan politik, TNI/ABRI harus menggunakan metode persuasif dan metode konstitusionil, tidak boleh menggunakan metode paksaan.

6. Bahwa Letter of Intent yang ditandatangani oleh Presiden HM Soeharto tanggal 15 Januari l998 di depan Direktur Pelaksana IMF membuktikan bahwa Pemerintah telah gagal mengatasi krisis ekonomi moneter sebagai produk sistem politik dan pengelolaan Pemerintahan selama ini. Teguran/petunjuk yang diberikan IMF kepada Pemerintah itu, pada hakekatnya adalah perwalian (guardianship) pihak luar negeri/IMF terhadap Republik Indonesia, hal ini menodai Martabat dan melanggar Kedaulatan Negara dan Bangsa.

Jakarta, 17 Januari 1998

1. Persatuan Nasional Indonesia Ny Supeni, Sunarkha 2. Lembaga Soekarno Hatta Manai Sophian Prof. Usep Ranuwijaya, SH Apoel Batubara 3. Anggota Kelompok Kerja Petisi 50 Drs. Wachdiat Sukardi Ir HM Sanoesi 4. LPEP Soedibyo Drs. Danardono 5. Pimpinan FPKR Abdul Majid 6. Forum Komunikasi Murba Wasid Soewarto 7. Gerakan Rakyat Marhaen Soekmawati Soekarnoputri Achmad Marhaen SP, SH 8. PSP Kebangsaan Indonesia-IM Drs. Soerowo Abdulmanap Murdianto 9. Moersjid, Mayjend (purn) TNI AD 10. Dahlan Ranuwihardjo SH (ex TNI Corp Mahasiwa Brigade 17) 11. Abdoel Sjoekoer (Ex TNI Brigade 17 TGP) 12. Soebagio (ex TNI Brigade 17 TRIP Jawa Timur) 13. Soejono (ex TNI Brigade 17 TP Jawa Tengah) 14. Drs. Soekardjo Ismono (ex Pelajar Pejuang RI) 15. D Pardjaman (ex TNI Brigade 17 TP Siliwangi)


SIAGA (Solidaritas Indonesia untuk Amien-Mega)
PERNYATAAN SIKAP
Tiga puluh dua tahun sudah Orde Baru berkuasa dan menjalankan "Stabilitas Politik Untuk Pertumbuhan Ekonomi", yang dipertahankan sedemikian rupa sebagai tujuan suci bangsa.

Semua itu dilaksanakan dengan ketergantungan yang begitu mutlak pada dana pinjaman luar negeri dengan pengelolaan tanpa kontrol, tanpa transparansi. Kekuasaan berada diatas kepentingan rakyat. Mayoritas rakyat yang miskin dan lemah dikorbankan. Korupsi, kolusi, monopoli, oligopoli dan nepotisme menjadi ciri ekonomi Orde Baru. Kekayaan negara digerogoti, yang pada gilirannya menjerumuskan seluruh bangsa pada pada ancaman serius.

Perekonomian bangsa berada diambang kehancuran. Krisis moneter yang telah berlangsung sejak setengah tahun lalu membawa rakyat ke kehidupan yang penuh ketidak pastian. Dunia usaha macet, jutaan buruh kehilangan pekerjaan, kerusuhan muncul dimana-mana akibat harga-harga bahan pokok berubah setiap saat, melambung tinggi hingga tak terjangkau.

Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi ini, antara lain paket bantuan IMF, hingga hari ini tak memberikan hasil. Nilai rupiah makin hari makin tak berharga.

Seluruh kenyataan tersebut membuktikan pada kita bahwa krisis yang dihadapi bangsa kita saat ini tidak cukup hanya diatasi dengan berbagai program reformasi ekonomi. Yang paling mendesak kita butuhkan adalah justru reformasi politik, menuju pemerintahan yang lebih baik, yang sehat, bersih dan yang demokratis. Dan untuk bisa memperoleh perubahan seperti itu, dibutuhkan pimpinan bangsa yang benar-benar bersih, yang memiliki visi, yang menyadari betul bahwa kedaulatan bangsa ini terletak pada rakyat, bukan pada penguasa.

Untuk itulah kami, yang tergabung dalam SIAGA (Solidaritas Indonesia Untuk Amien dan Mega) dengan ini menuntut :

1. DILAKUKANNYA REFORMASI EKONOMI DAN POLITIK.

2. DISALURKANNYA ASPIRASI RAKYAT OLEH MPR, DENGAN MEMPROSES PENCALONAN AMIEN RAIS DAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI SEBAGAI PRESIDEN RI PERIODE 1998-2003, PADA SIDANG UMUM MPR, BULAN MARET NANTI.

3. MENOLAK PENCALONAN SOEHARTO SEBAGAI PRESIDEN RI PERIODE 1998-2003.

Demikianlah pernyataan ini kami buat dengan sepenuh hati.

Jakarta, 23 Januari 1998

SIAGA (Solidaritas Indonesia Untuk Amien-Mega)


Wawancara Mohtar Pabotinggi:
Tidak Ada Alasan untuk Terjadinya Suksesi dengan Damai

Tidak ada alasan untuk melihat sebuah suksesi dengan damai. Itulah analisis dari Mochtar Pabottingi, staf peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kesimpulan itu menjadi cukup wajar ketika kita melihat beberapa gejolak sosial di Indonesia. Tahun-tahun terakhir ini, gelombang kerusuhan akibat ketidakpuasan rakyat terhadap keadaan yang ada, baik dalam bidang ekonomi maupun politik, terus terjadi.

Krisis finansial yang berbuntut ke krisis ekonomi secara total hampir melumpuhkan roda kehidupan bangsa Indonesia. Nilai tukar rupiah yang terus merosot, ketidakpercayaan rakyat maupun asing terhadap ekonomi Indonesia, juga bangkrutnya dunia usaha, memperburuk suasana ini. Apalagi semua ini berbuntut dengan membludaknya pengangguran, melonjaknya harga-harga yang tidak disertai dengan naiknya daya beli masyarakat. Kondisi itu mengundang frustasi rakyat.

Orang pun mulai bertanya-tanya, apa yang akan terjadi dengan negara ini. Kebanyakan orang, baik yang awam hingga ahli ekonomi, mengatakan bahwa itu bukan masalah ekonomi semata, tapi juga masalah politik. Kehadiran IMF yang diharapkan jadi "dewa penyelamat" ternyata tidak membantu memperbaiki keadaan. Bahkan beberapa ekonom menyatakan IMF justru memperburuk keadaan. Rakyat mulai resah. Apa yang akan terjadi ? Bagaimana situasi Indonesia pasca Soeharto nanti? Apa yang harus mendapat prioritas penanganan terlebih dahulu?

Untuk lebih mengetahui masalah itulah, Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO Interaktif mewawancarai Mochtar Pabottingi pada hari Rabu, 14 Januari lalu di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya :

Apakah suksesi akan berlangsung dengan damai ? Saya tidak bisa memprediksi secara persis. Tetapi kondisi kita menuju pada suksesi yang damai tidak ada. Format politik kita, dengan kelima UU Politik, telah disusun sedemikian rupa dengan asumsi melanggengkan posisi eksekutif. Dan lebih khusus lagi untuk melanggengkan kepala negara dalam posisinya. Dengan kata lain, kepala negara tidak bisa digantikan. Jadi, kepala negara itu otomatis seumur hidup. Karena semua proses politik tidak memungkinkan terjadinya penggantian kepala negara. Sementara proses pemilihan para wakil rakyat itu juga melalui lembaga kepresidenan. Praktisnya, MPR yang sangat menentukan dalam proses penggantian kepala negara, tidak independen. Secara tertulis ada 60 persen anggota MPR yang diangkat. Tetapi pada prakteknya, 90 persen yang diangkat, langsung maupun tidak langsung. Bahkan bisa 95 persen yang diangkat. Dan saya lebih cenderung ke angka 95 persen. Sehingga mereka tidak berakar sungguh-sungguh dari rakyat. Nah, bagaimana caranya mereka mengganti presiden kalau mereka sendiri diangkat oleh presiden. Itu saja logika sederhananya. Jadi, praktisnya adalah begitu seorang presiden duduk di kursi kepresidenan dalam format politik yang berlaku, dia akan duduk di situ seumur hidup. Adapun pemilihan umum yang berlaku, sebenarnya bukan pemilu yang betul. Itu hanya sandiwara saja.

Apakah berarti tidak mungkin terjadi suksesi dengan damai ? Dengan alasan apa bisa terjadi suksesi dengan damai ? Mekanismenya memang ada. Kalau presiden berhalangan digantikan oleh wakil presiden. Tetapi dengan berkuasanya seorang presiden yang begitu lama, akan terjadi akumulasi kepentingan yang kuat sekali. Baik akumulasi kekuasaan, ekonomi maupun politik pada orang-orang tertentu di sekelilingnya. Apakah orang-orang ikhlas menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin lain ? Dan apakah pemimpin yang lain ini juga tidak akan berusaha menciptakan akar-akar kekuatan seperti itu ? Jadi, ada semacam proses yang sakit bagi orang-orang di dalam kekuasaan saat terjadi proses perpindahan kekuasaan kepada orang lain. Itulah yang membuat suksesi tidak akan mulus. Tentu saja juga karena monopoli itu luar biasa taruhannya. Sungguh luar biasa, ketergantungan sumber daya ekonomi kita pada satu orang itu. Apakah itu akan gampang dipindahkan ke orang lain ? Dan apakah orang lain itu akan enak saja melanjutkan sebagai tuannya yang sama dari orang-orang ini. Kan tidak.

Tetapi dengan situasi seperti sekarang, apakah mereka masih begitu percaya pada rejim ini? Nggak lagi. Sebenarnya bukan hanya sekarang, tetapi sudah sejak lama. Hanya format politik orde baru ini tidak membuat adanya mekanisme perubahan.Tidak ada istilah perubahan konstitusional dalam orde baru ini. Yang ada hanya perubahan inkonstitusional. Jadi, orde baru itu menutup perubahan berdasarkan konstitusi itu. Yang dimungkinkan adalah perubahan inkonstitusional, yang harus melewati cara-cara di luar format resmi.

Dengan asumsi bahwa proses suksesi tidak akan berjalan dengan damai, kira-kira kapan akan terjadi proses suksesi tersebut ? Seperti saya katakan di atas bahwa format politik orde baru itu mematok stabilitas kekuasaan pada diri kepala negara tanpa batas, karena memang tidak ada mekanisme pergantian. Jadi sepanjang yang berkuasa itu masih mau berkuasa, tidak akan ada halangan. Semua perundang-undangan sudah menguntungkan dia. Jadi dia akan sampai seumur hidup. Kalau dia sudah mulai melemah, sudah mulai dimakan usia senja, masa prima usia fisik sudah mundur, otomatis itulah masanya suksesi. Itu yang saya katakan monarki absolut dalam praktek. Kita itu republik, tetapi dalam prakteknya adalah monarkhi absolut.

Jadi proses suksesi baru terjadi kalau presiden meninggal? Betul. Pokoknya sampai habis atau sampai tidak bisa apa-apa lagi.

Kalau presiden sekarang (Soeharto) nanti benar-benar berakhir, bagaimana bentuk pemerintahan kita selanjutnya? Apakah akan dibentuk suatu presidium atau langsung presiden baru ? Itulah yang masih tanda tanya. Dan itulah yang membuat rawannya suksesi. Masalah itu tidak bisa kita tentukan dari sekarang. Tetapi tergantung dari yang di atas. Yang jelas, pasti banyak orang yang menghendaki posisi itu. Sebenarnya ada mekanismenya dalam UUD kita. Tetapi apakah itu akan berjalan ? Mekanisme suksesi pada masa lalu, pada waktu dari Soekarno ke Soeharto, apakah itu menuruti UUD 1945 ? Kan tidak juga. Jadi jangan hanya bilang ada mekanismenya, tetapi lihat juga prakteknya. Praktek di waktu lalu itu tidak demikian.

Apakah ada kemungkinan nanti akan ada penggunaan Supersemar kedua ? Itu sudah jelas. Itulah gunanya Supersemar kedua dirancang lagi.

Apakah yang Anda maksud adalah dihidupkannya kembali Tap MPR No. VI/1988 tentang pelimpahan wewenang khusus kepada presiden ? Ya. Itulah supersemar kedua. Itulah gunanya, kepada siapapun nanti kekuasaan itu diberikan, ada supersemarnya. Tetapi sebenarnya penggunaan supersemar itu bertentangan dengan ketentuan di dalam UUD 1945. Sesuai dengan ketentuan, seharusnya jabatan presiden diserahkan kepada wakil presiden atau tepatnya dengan sebuah koalisi di mana ada tiga orang anggota, wapres dan beberapa menteri. Tetapi dengan supersemar, semua itu bisa dibantah, bisa dibatalkan dengan sama-sama sahnya. Padahal secara konstitusi, itu tidak betul.

Dengan kondisi yang sangat berbeda dengan tahun 1966, apakah penggunaan supersemar kedua nanti akan berlangsung aman-aman saja juga ? Menurut saya, rakyat akan tutup mulut atau bungkam saja. Karena apa? Republik ini milik bersama. Sementara supersemar cenderung membuat republik ini menjadi milik perorangan. Jadi tidak melalui mekanisme yang sesungguhnya yang kita kehendaki. Supersemar itu kan ada dalam keadaan darurat. Rasionalnya, masak keadaan darurat sampai sekarang? Jadi Tap MPR tersebut irrasional. Bahkan mengada-ada. Kalau sekarang dianggap keadaan darurat, di mana daruratnya ? Saya pernah menulis bahwa bahaya terbesar dari format politik darurat orde baru, yang sebetulnya sudah tidak darurat lagi, bahwa format dan praktek politik darurat ini justru akan menciptakan situasi darurat yang lebih gawat lagi. Menurut saya, kita sudah berada di sini sekarang. Jadi bukan karena ada situasi darurat, tetapi karena diberlakukannya format politik darurat itulah tercipta situasi darurat baru. Mengapa? Karena format politik darurat ini memonopoli politik, ekonomi, juga hukum. Dan semua itu sewenang-wenang. Tentu saja yang terjadi adalah keadaan darurat. Itu yang akan terjadi.

Akibatnya? Meneruskan format politik yang sifatnya darurat, pada waktunya pasti akan menciptakan situasi darurat yang lebih berat lagi daripada yang pernah kita alami. Inilah yang perlu dikoreksi. Buat format politik yang sungguh-sungguh berdasarkan kedaulatan rakyat. Pemilihan umum pun harus benar-benar pemilu yang baik. Pemilu yang terjadi hanya pengukuhan kekuasaan, bukan kedaulatan rakyat. Jadi yang terjadi adalah pengukuhan kedaulatan kekuasaan.

Apakah berarti demokrasi pasca Soeharto akan sama saja dengan sekarang ? Menurut saya, belum ada demokrasi di Indonesia. Demokrasi Pancasila itu, dua-duanya bukan. Bukan demokrasi, bukan pula Pancasila.

Lalu apa yang ada di Indonesia sekarang ? Rejim darurat. Yang dalam prakteknya adalah monarki absolut tadi.

Kalau misalnya nanti ada pergantian pemimpin, apakah tetap tidak akan ada sedikitpun demokrasi itu ? Selama sistem politiknya tidak berubah, tidak akan ada demokrasi. Wong dari sistem politiknya sudah tidak betul. Kelima UU Politik itu menahan kedaulatan rakyat. Atau mengalihkan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan kekuasaan ke tangan rejim. Di mana demokrasinya? Karena sudah diambil kedaulatannya, maka tidak ada lagi demokrasi.

Apakah berarti kita tetap pesimis dengan prospek demokrasi meski ada pergantian penguasa ? Jangan pesimis. Dengan suara keras saya, saya tidak pernah pesimis. Saya yakin betul bahwa seluruh tokoh pendiri negara kita itu tidak sia-sia pernah hidup dan berkiprah. Menurut saya, masih ada peluang untuk demokrasi. Itu semua sebenarnya tergantung kepada kepala negara. Secara primitif, dia diberi kekuasaan yang luar biasa tingginya. Dia begitu didewakan, seakan-akan tidak mungkin salah. Kalau sampai terjadi penggantian kepala negara tersebut, baru akan ada peluang untuk mengganti sistem kita ini. Karena sistem yang ada, tidak ada mekanisme untuk mengoreksinya. Yang bisa mengoreksinya hanya kepala negara. Sehingga hanya dari dialah bisa dimulai perubahan itu. Jadi intinya, kalau ada pergantian kepala negara, ada peluang untuk perubahan sistem, tetapi tidak ada kepastian lho. Celakanya kalau kepala negara yang baru nanti ingin meniru kepala negara sebelumnya. Dengan kata lain, dia ingin mempertahankan sistem sekarang ini. Itulah yang perlu kita cegah. Jadi suksesi kita itu harus diarahkan ke reformasi politik. Nggak usah radikalisme politik atau revolusi. Cukup reformasi politik. Jadi tidak hanya berhenti pada suksesi. Tujuan finalnya adalah reformasi politik.

Kalau Pak Harto betul-betul menggunakan supersemar kedua, siapa kira-kira yang akan diberi tongkat estafetnya? Jangan tanya saya. Tetapi tanya dengan yang di atas sana. Mungkin mereka yang punya kans adalah orang-orang yang secara konstitusional berada di sekelilingnya, seperti Try Sutrisno. Secara struktural dia sudah wakil presiden. Sementara yang lain yang juga dekat dengan beliau, sebut saja namanya satu per satu seperti Habibie, Wiranto atau Ginandjar. Mereka semua kan dekat dengan kekuasaan atau struktur itu. Itu kalau mengikuti mekanisme yang tertutup itu dan menurut saya sama sekali tidak ada celahnya. Jadi dia mungkin akan memilih di situ-situ saja. Kecuali kalau tidak mengikuti sistem. Itu akan bisa lain hasilnya. Dan peluang untuk tidak mengikuti sistem juga ada. Itu kalau masyarakat sudah mengatakan bahwa sistem ini sifatnya distortif atau palsu atau menipu rakyat. Kalau sudah terbuka dan gamblang, seperti kalau saya mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat itu bukan dewan perwakilan rakyat, tetapi dewan perwakilan rejim, otomatis akan mempertanyakan kredibilitas sistem yang ada sekarang. Nah, kalau dipertanyakan kredibilitas mereka, tentu saja hasilnya juga akan dipertanyakan. Jadi kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti.

Apakah peran ABRI dalam dunia politik masih akan sangat kuat pada pasca Soeharto? Secara historis, ABRI memang mempunyai dwifungsi. Tetapi yang dilupakan oleh orang-orang ABRI adalah, waktu itu sedang dalam keadaan darurat. Dari keadaan darurat itulah maka ABRI terpaksa melakukan fungsi pertahanan dan keamanan (hankam) dan fungsi sosial dan politk (sospol). Nah, kalau keadaan tidak darurat lagi, apakah itu akan diteruskan. Yang kedua adalah ada tabrakan di dalam ABRI sendiri. Kehidupan modern akan bergerak terus pada spesialiasasi. Spesialisasi pada hankam saja bisa bermacam-macam. Demikian juga spesialisasi pada sospol. Untuk menguasai salah satu, masing-masing orang bisa perlu waktu selama 20 tahun. Nah, itu berarti kan bertentangan dengan kodrat yang berlaku atau rasionalitas. Semua kehidupan modern, termasuk negara modern, memerlukan division of labor (pembagian kerja). Hanya seorang dewa saja yang bisa dwifungsi. Itu saja sudah kontradiktif. Ketiga, asumsi dasar dwifungsi saat diproklamasikan oleh AH Nasution adalah sipil yang berkuasa. Keadaan sekarang lain sekali. Sewaktu Soekarno masih berkuasa kan tidak terbayangkan kalau ABRI akan memegang peranan di situ. Sekarang dengan kepala negara berasal dari ABRI, dwifungsi itu mati dengan sendirinya. Eksistensi dari dwifungsi kan tidak mau menjadi alat mati pemerintah. Ketika dia diperintah oleh kepala negara yang berasal dari ABRI, garis hirarkhi militer itu berlaku lagi. Mereka akan bilang "bapak" atau "komandan" yang bilang. Tidak bisa dibantah, dia sudah adalah alat mati pemerintah. Di mana lagi ada dwifungsi ? Jadi sebenarnya sejak orde baru, dwifungsi sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah pengkaryaan ABRI pada posisi-posisi sipil juga. Sementara dwungsi yang telah dicanangkan semula, telah lama mati.

Dengan asumsi bahwa proses suksesi tidak akan berjalan damai, apakah bukan justru mengukuhkan dwifungsi ABRI? Itu merupakan suatu kemungkinan. Tetapi kemungkinan itu hanya sepanjang ABRI masih sungguh-sungguh mendapat legitimasi dari rakyat. Ingat ucapan Menhankam Edi Soedradjat sendiri menjelang pemilu lalu. Menurutnya, ABRI itu lebih dekat kepada konglomerat daripada kepada masyarakat. Jadi mereka bukannya manunggal dengan rakyat, tetapi manunggal dengan yang lain. Sekarang tanyakan ke rakyat apakah rakyat masih merasa bahwa ABRI itu punya dia ? Sedangkan seorang menhankam saja sudah mengakui bahwa ABRI bukan lagi milik rakyat. Dengan kata lain, kredibilitas atau legitimasi dwifungsi itu sudah jauh merosot. Ini tidak berarti bahwa saya merendahkan sama sekali. Pasti ada fungsinya.

Dalam era pasca Soeharto, apa yang harus diprioritaskan untuk ditata? Menurut saya, kita jangan berpikir pasca Soeharto sekarang. Lebih baik kita berpikir pasca orde baru.

Apakah bukan berarti bahwa pasca Soeharto adalah pasca orde baru? Belum tentu, karena ada kemungkinan muncul Soeharto kedua yang mempertahankan sistem yang ada. Itulah sumber celaka paling besar bagi bangsa kita. Karena orde darurat itu memporakporandakan semua tatanan yang ada. Seperti yang saya katakan dalam tulisan saya di D&R, ada stabilitas kekuasaan tetapi tidak ada stabilitas pemerintahan. Mereka saling mengganjal satu sama lain. Tidak ada prediktabilitas dan rasionalitas di dalam pemerintahan. Nah, kalau itu berlanjut terus bagaimana ? Seperti yang kita alami ini. Ada kesenjangan yang sangat tajam. Kesenjangan itu, kalau 2 x 30 tahun keadaan ini berlangsung, nggak usah berpikir adanya republik Indonesia seperti yang kita cita-citakan.

Jadi apa yang perlu ditata terlebih dahulu pada pasca orde baru ? Yang perlu ditata sebenarnya sistem politiknya. Kesempatan itu telah tak terhitung diberikan kepada pemerintahan Soeharto. Seandainya ada pemilu yang baik, itu merupakan starting point yang bagus sekali. Supaya para wakil rakyat yang di atas itu benar-benar wakilnya rakyat, yang tahu apa yang dikehendaki rakyat. Sekarang kan tidak demikian. Mayoritas dari mereka adalah wakil-wakilnya rejim. Bagaimana dia tahu apa yang dikehendaki rakyat? Wong mereka dipilih oleh yang berkuasa. Apa yang bisa diharapkan dari mereka Nah, inilah yang sebenarnya paling perlu ditata. Tetapi itu sudah lewat. Rakyat pun sudah tidak percaya lagi meskipun pemerintah mengatakan akan mengubah sistem. Karena sudah terlalu banyak janji-janji yang dikhianati, yang tidak dilaksanakan. Proses yang berlaku sama saja. Satu-satunya harapan kita adalah pergantian kepemimpinan nasional. Dari situ mungkin nanti bisa pergantian sistem.

Bagaimana dengan masa depan partai politik ? Seperti sudah saya katakan, kelima UU Politik itu harus diganti. Masak jumlah partai dipatok tiga. Dan masak partai-partai politik merupakan kepanjangan kekuasaan saja. Itu bukan partai politik sesungguhnya, tetapi partai semu saja. Sama dengan kapitalis semu kita, atau konglomerat semu, dst. Ketua umum partai harus direstui. Kalau dia melawan harus diganti, dengan cara apapun juga. Begitulah Megawati diturunkan.

Jadi apakah mekanisme suksesi juga harus diganti? Sebenarnya pemilihan umum itu bukan suksesi. Suksesi adalah borok orde baru. Suksesi itu sebetulnya kan dari nomen klatura, dari perbendaharaan kata sistem monarkhi absolut. Nah, itu kan aneh. Katanya demokrasi Pancasila, kok tetap ada suksesi ? Jadi suksesi itu sebetulnya milik monarki. Jadi sudah sangat kelihatan dengan kata tersebut, kita sudah bukan demokrasi.

Proses pencalonan presiden harus lewat fraksi, bagaimana dengan calon lain yang berkualitas tetapi di luar fraksi? Tidak mungkin ada. Untuk masuk ke dalam sistem, mereka harus manut. Kalau berani-berani bersuara, tidak akan mungkin masuk ke dalam situ. Lalu, seharusnya bagaimana? Buka sistem kepartaian yang bebas. Ketakutan akan timbul lagi puluhan partai, itu hanya omong kosong. Puluhan partai itu kan warisan peralihan dengan jaman kolonial. Itu karena ulah politik Belanda yang hendak memecah belah. Dan memang mekanisme pergerakan kita, banyak laskar-laskar. Semuanya ingin tampil. Tetapi dalam keadaan normal, meksipun mula-mula ada 100 parpol, akhirnya hanya akan ada dua parpol yang muncul. Itu kalau sistem distrik. Dan paling banyak tujuh, atau lima saya kira, kalau kita pakai sistem proporsional. Tidak mungkin lebih dari itu. Karena apa ? Kita kan satu bangsa, yang tetap saja mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama pada awalnya. Atas dasar kepentingan-kepentingan yang sama itu akan terbentuk politik yang sama. Itu otomatis. Tantangan kita sama. Solusinya cenderung sama juga. Partainya juga sama.

Bagaimana dengan ide pembatasan masa jabatan presiden ? Itu mutlak harus. Idealnya berapa lama? Bisa dua periode. Satu periode kita kan lima tahun. Menurut saya, sepuluh tahun itu sudah cukup. Presiden sekarang kan sudah enam kali. Jadi sudah terlalu lama. Menurut saya, ini sudah tidak bisa dimaafkan.

Mengapa hanya dua periode? Sepuluh tahun itu sudah cukup panjang. Kalau seorang presiden dipilih dalam masa prima fisik mentalnya, sepuluh tahun itu sudah cukup waktu untuk melaksanakan semua rencana-rencananya.Tetapi kalau dia lebih dari itu, bisa terjadi macam-macam lagi seperti sekarang ini.

Apakah mungkin akan terjadi revolusi untuk sebuah pergantian pemimpin ? Menurut saya tidak. Tetapi itu barangkali karena saya optimis. Saya percaya manusia Indonesia itu sebagai manusia yang waras. Tetapi kekerasan bisa saja terjadi. Saya tidak mengharapkan terjadinya revolusi. Tetapi saya tidak bisa menutup sama sekali kemungkin terjadinya itu. Hanya saja kalau sampai terjadi revolusi, itulah yang dikehendaki oleh orde baru. Artinya orde baru telah menutup semua cara perubahan yang evolusioner. Orde barulah yang mengundang terjadinya revolusi, kalau memang terjadi revolusi itu. Jadi karena cara evolusi ditutup, meledaklah revolusi. Tetapi saya tetap percaya pada bangsa Indonesia bahwa kita Insya Allah merupakan bangsa yang bisa menahan diri. Tetapi saya tetap tidak bisa terlalu memastikan di sini. Anything can happen. Tetapi kalau disuruh menebak atau taruhan, atau mungkin itu hanya harapan saya, mungkin tidak akan ada revolusi. Dan saya juga masih ada harapan terhadap koalisi-koalis kekuatan dalam masyarakat yang menunjuk kewarasan. Mudah-mudahan saja tidak terlambat.


Wawancara Dr. Nurcholish Madjid:
Siapa pun yang Mencalonkan Pak Harto,
Masih Bermental Budak
Benarkah suasana Sidang Umum (SU) MPR Maret 1998 nanti bakal memunculkan kembali Pak Harto sebagai presiden? Jawabnya masih diliputi tanda tanya. Tapi, mengingat kondisi fisiknya yang merosot belakangan ini, ada suara menarik dari Cendana: keluarga menginginkan agar Pak Harto tak dipilih lagi. Itu diucapkan Ny.Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Pak Harto yang kini menjadi salah satu ketua DPP Golkar, ketika menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Yogyakarta, belum lama ini.

Tapi suara-suara yang tetap mendukung pencalonan kembali Jenderal (Purn) Soeharto masih santer. Markas DPP Golkar di Slipi, sebagaimana dilansir Ketua Umum Harmoko, tetap dengan keputusannya tempo hari. Menteri Penerangan R.Hartono juga idem dito: mungkin Pak Harto tetap bersedia, katanya. Yang menarik justru pendapat tegas Dr.Nurcholish Madjid, alias Cak Nur, Ketua Yayasan Paramadina yang kini mengajar di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Ciputat, Jakarta. "Sebaiknya Pak Harto beristirahat," katanya, singkat--tapi ia enggan menyebut kandidat yang pantas menggantikannya.

Pementasan apa yang bakal muncul di panggung politik Indonesia tahun 1998 nanti? Mengapa seorang Cak Nur yang dikenal dingin dalam melihat masalah, kali ini dengan nada sedikit tinggi malah berpendapat keras? "Siapa pun yang mencalonkan Pak Harto, masih bermental budak," katanya. Kepada Iwan Setiawan dan Edy Budyarso dari TEMPO Interaktif, Dr. Nurcholish Madjid menuturkan apa yang sekiranya terjadi di tahun 1998 nanti. Berikut petikan wawancara dengan tokoh ICMI itu, yang dilakukan di rumahnya, kawasan Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Selasa, 30 Desember lalu. Kutipannya:

Apa penilaian Anda terhadap moral birokrasi kita, berkaitan dengan banyaknya kasus korupsi dan kolusi yang terungkap belakangan ini? Birokrasi jika diletakkan dalam kerangka sosial budaya Jawa termasuk ke dalam golongan priyayi. Status sosial ini punya gengsi tinggi, sehingga cenderung anti kritik, apalagi yang berasal dari bawahan. Tradisi kritik seperti ini tidak dikenal oleh golongan priyayi. Hal inilah yang menyuburkan korupsi dan kolusi di kalangan birokrasi. Sehingga jika kita bicara moral, dapatkah moral dinilai baik ketika kebiasaan korupsi dan kolusi menjadi hal yang lumrah? Tentu tidak.

Mengapa korupsi yang berjangkit pada birokrasi kita sedemikian parah? Karena ketika korupsi terjadi di kalangan birokrat, dan muncul suara kritis mempertanyakan, selalu ditanggapi dengan sikap anti dialog. Karena dalam budaya priyayi, tidak mengenal kritik. Sikap feodal ini, akhirnya melahirkan cara-cara otoriter dan kekerasan untuk menanggapi kritik yang muncul. Sehingga korupsi makin parah berjangkit dalam birokrasi. Selain itu proses demokratisasi juga terhambat, akibat penggunaan cara otoriter tersebut.

Bagaimana cara memberantas korupsi yang sudah seperti penyakit kanker di tubuh birokrasi? Untuk memberantas korupsi yang sudah parah ini, tidak cukup hanya dengan memperbaiki akhlak para birokrat saja. Apalagi hanya mengandalkan niat baik seorang pemimpin saja, tetapi perlu ada kontrol sosial yang kuat dari masyarakat. Untuk menciptakan kontrol sosial ini, syarat mutlaknya adalah kebebasan, misalnya kebebasan pers, kebebasan berpendapat, termasuk untuk membentuk partai politik, dan tidak dibatasi hanya oleh tiga parpol seperti yang ada saat ini.

Saat korupsi dan kolusi menjatuhkan birokrasi, apakah hal itu menciptakan peluang terjadinya perubahan? Ya, tentu saja. Yang terpenting perubahan sistem pemilu. Tidak seperti sekarang ini, pemilihan presiden dan wakilnya tertunda hampir setahun. Sejak pemilu hingga sidang umum MPR ini segala hal bisa terjadi, termasuk manipulasi dan rekayasa lainnya. Belum termasuk pengangkatan anggota MPR oleh presiden. Apalagi sebelumnya calon anggota di-litsus. Hal ini adalah sebentuk kontrol yang dilakukan pemerintah terhadap anggota dewan. Jadi sebenarnya tidak ada kemandirian para wakil rakyat.

Perubahan seperti apa yang Anda inginkan? Sudah saatnya setiap OPP mencalonkan presiden dan wakilnya dalam satu paket. Tidak seperti sekarang, hampir setahun setelah pemilu, orang baru meributkan siapa calon presiden dan wakilnya menjelang Sidang Umum MPR Maret 1998 nanti. Ini kan sama juga mengulang pemilu Mei 1997 lalu. Hal ini benar-benar tidak masuk akal. Sistem pemilu seperti ini tidak wajar. Yang terpenting, setiap OPP harus mempunyai platform politik yang akan ditawarkan kepada calon pemilihnya dalam pemilu. Setelah itu baru dipilih seseorang yang dianggap mampu melaksanakan platform politik parpol itu. Orang itulah yang dipilih oleh parpol itu untuk menjadi calon presiden dan wakilnya. Jika setiap parpol melakukan hal ini, maka kita akan memiliki tiga paket calon presiden dan wakilnya untuk memperebutkan kursi presiden.

Mengingat ketidak mandirian parpol dan anggota dewan, juga sistem pemilu yang salah, lalu dari mana kita harus memulai perubahan sistem yang seperti lingkaran setan ini? Dalam keadaan seperti ini, kita dapat memulai perubahan dari mana saja. Ibarat lingkaran, kita dapat memilih titik permulaan untuk menyelesaikan masalah di sepanjang keliling lingkaran itu, terserah kita. Di antara banyak kemungkinan itu, tentu harus kita pilih di titik mana yang paling efektif untuk melakukan perubahan. Menurut saya cara yang paling efektif untuk melakukan perubahan adalah pembinaan pendapat umum.

Bagaimana Anda melihat pencalonan diri Amien Rais sebagai presiden? Berkaitan dengan pembinaan pendapat umum untuk melakukan perubahan itulah, saya melihat pencalonan Amien Rais menjadi presiden menjadi penting. Menjelang Sidang Umum MPR, pencalonan Amien Rais dapat dianggap sebagai simbol perubahan.

Apa bentuk pembinaan pendapat umum lainnya? Jika sekarang ini pembinaan pendapat umum dikaitkan dengan suksesi presiden menjelang SU MPR Maret nanti, maka pasca sidang umum nanti pembinaan itu justru harus diperluas dan diperkuat substansinya. Pembinaan itu jangan hanya retorika saja, tetapi mencari argumen yang lebih benar mengenai topik yang dibahas. Misalnya, argumen tentang penafsiran terhadap UUD 45, tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka. Setelah SU MPR Maret 1998 nanti, seharusnya sistem politik yang berlaku selama ini harus dihentikan. Sistem politik harus ditata kembali hingga berjalan wajar. Jangan sekali-sekali menganggap bahwa sistem politik yang sekarang berlaku adalah permanen. Sejarah lahirnya Orde Baru berada dalam situasi darurat, sehingga sistem yang dibentuk juga tidak permanen. Jadi kita perlu untuk terus mencari sistem politik yang lebih baik sebagai penggantinya.

Siapa menurut Anda yang paling siap untuk mempelopori perubahan itu? Sulit untuk menentukan kelompok mana yang paling siap untuk mempelopori perubahan. Karena setiap kelompok masyarakat mempunyai potensi sendiri.

Justru tujuan dari pembinaan pendapat umum adalah untuk menumbuhkan masyarakat madani, artinya suatu masyarakat yang mandiri dan berani menyuarakan pikirannya secara bebas. Jika potensi masyarakat kita tumbuh, maka ibarat sebuah rumah, bangsa Indonesia nantinya akan berdiri di atas pondasi cakar ayam. Berdiri di atas pluralitas kekuatan masyarakat. Bukan berdiri di atas pondasi kolom yang homogen.

Mengapa perubahan itu tidak dimulai dari kelompok Islam? Yang terpenting adalah timbulnya wacana, di mana timbul interaksi secara terbuka antara seorang tokoh Islam dengan umatnya. Misalnya pertemuan Amien Rais dengan umat Islam dalam sebuah tabligh akbar.

Apakah pernyataan Anda yang berbunyi Islam, yes, partai Islam, no, masih cukup relevan dengan kondisi politik saat ini? Jelas masih relevan. Karena Islam harus diletakkan dalam skala nasional, bukan hanya dalam bidang politik. Dulu, hampir mustahil orang disebut Islam tanpa ia menjadi anggota partai Islam, sekarang kan tidak lagi. Bagi seorang muslim ia dapat saja memilih salah satu parpol, entah PPP, PDI atau Golkar, untuk menampung aspirasinya. Islam perlu diletakkan dalam skala nasional, karena sebagai sebuah bangsa perlu landasan etis dan moral yang luas. Ambil contoh Amerika, landasan etis dan moralnya adalah White, Anglo Saxon, Christian, untuk menyalurkan aspirasi politiknya mereka memilih partai Republik atau Demokrat.

Apakah masyarakat lebih mengharapkan perubahan itu lewat ormas Islam seperti Muhammadiyah atau NU, dan bukannya parpol? Perubahan lewat ormas semacam ini menurut saya mungkin saja dilakukan.

Tetapi tidak mungkin mengharapkan Muhammadiyah atau NU tampil langsung sebagai ormas. Cukup jika ormas tersebut menjadi pendukung tokohnya, seperti jika NU mendukung Gus Dur, atau Muhammadiyah mendukung Amien Rais.

Bukankah di saat moral birokrasi sedang bobrok seperti sekarang, tampilnya ormas keagamaan justru lebih mengena bagi masyarakat? Di satu sisi pendapat itu ada benarnya. Tetapi jangan pernah lupa, bahwa ketika NU membesar, semakin tidak efektif. Ketika NU membawa jargon-jargon moral dan akhlak, mereka tidak bisa menerjemahkan jargon itu ke dalam kerangka politik modern. Jadi harus ada penyatuan antara aspirasi keagamaan dengan pengetahuan tentang masyarakat modern. Dulu penyatuan ini terlihat pada Masyumi sebelum mengalami perpecahan.

Bagaimana dengan peran ICMI sebagai agen perubahan? ICMI mempunyai potensi seperti Masyumi dulu. ICMI punya pengetahuan tentang masyarakat modern sekaligus aspirasi keislaman.

Jika Masyumi dulu dikenal bersih, bagaimana dengan ICMI? Saya ingin sedikit cerita tentang proses kelahiran ICMI. Banyak orang salah sangka dan menganggap ICMI dibentuk dari pemerintah. Sebenarnya ICMI berasal dari bawah, saat itu Imaddudin Abdurrahim baru pulang dari Amerika, dan ia ingin meneruskan tradisi kumpul-kumpul dan diskusi. Di Yogya, ketika itu diskusi kami sempat dibubarkan aparat. ICMI kemudian berkembang, lalu dicoba dihalang-halangi oleh pemerintah. Akhirnya ICMI lahir, setelah berkompromi dengan pemerintah. Sebenarnya saat itu Emil Salim yang ditunjuk menjadi ketuanya, tetapi ia menyarankan agar Habibie yang menjadi ketuanya. Lalu seolah-olah Habibie menjadi menteri ICMI. Dan melalui Haryanto dan Wardiman, ICMI bahkan Islam diwakili dengan cara yang paling buruk. Haryanto Danutirto dan Wardiman sebenarnya bukan orang ICMI, tetapi orangnya Habibie. Orang ICMI sebenarnya seperti Dawam Rahardjo dan Amien Rais.

Kini ICMI populer sebagai kendaraan politik Habibie. Mengapa tidak dibubarkan saja dan diganti organisasi baru? ICMI tidak bisa dibubarkan begitu saja. Yang terpenting adalah perlunya dilakukan konsolidasi. Cita-cita ICMI adalah ingin seperti Masyumi. Bukan dalam program kerjanya, tetapi dalam sumbangan wawasan berpikirnya. Jadi bagaimana mengembalikan ICMI kepada cita-cita semula, itu yang terpenting.

Bagaimana ide Anda mengenai oposisi Indonesia untuk kondisi sekarang? Lembaga oposisi diperlukan untuk mengembangkan demokrasi. Lembaga itu dibutuhkan untuk mengakomodasi perbedaan pendapat, dan oposisi masih dibutuhkan dalam kondisi sekarang. Yang terpenting, lembaga ini harus memiliki loyalitas pada negara, bukan pada pemerintah. Sehingga lembaga ini juga mendorong ke arah perubahan dengan cara damai.

Bagaimana dengan perubahan melalui partai politik kita? Saya melihat dengan sistem politik seperti sekarang, parpol sulit untuk dapat melakukan perubahan. Mereka masing-masing punya vested interest-nya sendiri. Terlihat misalnya pada awal Orde Baru, ada gagasan untuk mengubah pemilu menjadi sistem distrik. Usulan itu dari Angkatan Darat, tetapi yang paling menentang gagasan tersebut adalah parpol. Lihat saja sekarang Golkar, PPP maupun PDI malah mendukung Pak Harto agar terpilih menjadi presiden kembali. Sementara Pak Harto sendiri sebenarnya sudah mengisyaratkan bahwa ia ingin istirahat. Sebagai orang Jawa, tentu ia tidak akan mengutarakan hal ini secara langsung, tetapi lewat isyarat. Misalnya dengan istilah lengser keprabon madheg pandhito.

Mengapa parpol masih mencalonkan Pak Harto sebagai Presiden? Alasannya ada dua. Pertama, karena parpol itu punya vested interest masing-masing. Yang kedua, karena parpol itu merasa takut. Jadi siapa pun yang masih mencalonkan Pak Harto sebagai presiden mendatang, ia bermental budak, belum berpikir merdeka.

Menurut Anda, perlukah suksesi dalam SU MPR Maret nanti? Sebaiknya Pak Harto memang harus beristirahat saja.

Siapa calon presiden penggantinya? Untuk sementara waktu saya tidak mau membicarakan nama lebih dulu.

Apakah referendum UGM yang mayoritas menolak Pak Harto sebagai presiden bisa dianggap mewakili rakyat? Ya, benar.

Kabarnya Anda juga mengirimkan surat kepada KAHMI agar tidak mencalonkan kembali Pak Harto? Tidak. Saya tak pernah mengirimkan surat semacam itu.

Bagaimana jika rakyat menghendaki Anda menjadi presiden? Mana mungkin orang seperti saya dipilih menjadi presiden, mustahil. Jangankan presiden, dahulu saya sering "digunting" dari berbagai kalangan, karena banyak orang yang takut jika saya menjadi menteri. Tetapi sejak saya bergabung dengan KIPP, tak ada lagi yang mengganggu saya. Rupanya mereka mengerti bahwa sejak saat itu kemungkinan saya untuk jadi menteri telah tertutup. Apalagi jadi presiden.