Platform GPI

Reformasi Politik

Gerakan Pembaharu Indonesia
Menuntut Pertanggungjawaban MPR

Gerakan Menolak Suharto

Kekayaan Suharto

Gerakan Pembaharu Indonesia

Selamatkan Bangsa Indonesia
dari Kehancuran

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air!

Bangsa kita saat ini sedang dalam krisis yang sangat dalam dan berbahaya . Krisis ekonomi telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan dan menurunkan kesejahteraan bangsa kita .

Tetapi, pokok persoalan yang paling penting adalah terjadinya krisis kepercayaan. Ketidakpercayaan bahwa pemimpin-pemimpin nasional kita memang betul-betul tulus ingin menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran . Rakyat tidak percaya bahwa mereka betul-betul tulus, karena selama ini mereka telah memanfaatkan kekuasaan negara dan politik untuk memperkaya dirinya sendiri, memperkaya anak-anaknya, cucu-cucunya dan kerabat-kerabatnya . Seolah-olah bangsa yang besar ini, bangsa yang telah merdeka 53 tahun, bangsa dengan 200 juta jiwa, hanya diciptakan untuk kepentingan mereka. Dengan cara-cara mereka berkuasa, mereka telah melecehkan, menyepelekan rakyat yang 200 juta jiwa, dan menghianati tujuan bangsa ini.

Lima puluh tiga tahun yang lalu, bangsa ini merdeka setelah melewati perjuangan yang panjang dan berdarah, bukan hanya dalam hitungan puluhan tahun, bahkan ratusan tahun. Para pemimpin perjuangan melawan para penjajah, berjuang mati-matian, berkorban jiwa dan raga, dengan cita-cita yang tidak pernah padam untuk merdeka. Mereka percaya, bahwa hanya dengan kemerdekaan lah bangsa ini dapat menjadi bangsa yang besar, yang disegani di dunia, dan bukan bangsa yang mengemis dan meminta-minta, dan meminjam dengan menggadaikan harga diri, dan menggadaikan kekayaan bangsa. Pinjaman itupun tidak sepenuhnya digunakan untuk kesehjatraan bangsa, tetapi digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, memperkaya diri dan memperkuat ekonomi keluarga. Asas kekeluargaan dalam UUD '45 telah diselewengkan hanya untuk kepentingan keluarga di lingkungan kekuasaan.

Saat ini, bangsa telah bangkrut dengan utang Rp. 1.400 triliun. Artinya, setiap keluarga di Indonesia memikul beban utang sebesar Rp. 35 juta, sementara mereka tidak pernah mengetahui untuk apa uang pinjaman sebesar itu dipergunakan. Jumlah utang sebesar itu, jelas di luar kemampuan sebagian besar bangsa Indonesia. Inilah hasil pembangunan selama 32 tahun Orde Baru. Dulu memang kita hidup miskin, tapi kita tidak punya utang sebesar itu, dan sumber daya alam kita masih berlimpah. Sekarang pun, sebagian besar bangsa kita tetap miskin, tetapi hutan-hutan sudah habis ditebang, minyak bumi dan emas sudah dikuras. Mereka hanya jadi penonton dari drama pengurasan kekayaan bangsa oleh segelintir pejabat dan konco-konconya. Bangsa Indonesia memang sudah bangkrut, tetapi para pemimpinnya tidak bangkrut, bahkan semakin kaya seiring dengan anjloknya nilai rupiah. Majalah "Forbes" dari Amerika telah menempatkan Presiden Suharto sebagai pemimpin paling kaya nomer 3 di dunia. Jauh lebih kaya daripada Ratu Elizabeth, ibu mertua mendiang Putri Diana dari Inggris. Presiden Suharto hanya kalah kaya dari Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, dan Raja Saudi Arabia, Fahd Abdulaziz Alsaud. Presiden Bill Clinton, presiden negara adi kuasa dan paling kaya di dunia, bahkan tidak masuk dalam daftar tersebut. Jangan-jangan kekayaan Presiden Clinton hanya uang receh dibandingkan dengan kekayaan keluarga Presiden Suharto.

Menurut majalah "Forbes" tersebut dan informasi CIA (Dinas Intelijen Amerika), kekayaan keluarga Presiden Suharto mencapai 30 miliar Dollar AS atau sekitar Rp 300 triliun. Kekayaan tersebut nyaris mencapai seperempat utang Indonesia. Belum lagi kekayaan dari pejabat-pejabat Indonesia lainnya dan para cukong-cukongnya. Kekayaan Sudono Salim (Liem Sioe Liong), cukong utama di lingkaran kekuasaan, adalah salah satu orang terkaya di Asia. Bahkan dalam suasana krisis saat ini, ketika bangsa Indonesia kesulitan memperoleh kebutuhan pokok, Salim bahkan semakin kaya karena dia menguasai hak monopoli impor beras, produksi dan distribusi minyak goreng, terigu, susu, super mie, dan lain-lain. Semakin sulit hidup bangsa Indonesia, semakin kaya cukong-cukong seperti Salim.

Perasaan bangsa Indonesia terhina ketika Tutut, sebagai wakil keluarga presiden, mempelopori "dagelan nasional" dengan menukar uang 50 ribu dollar, jumlah yang tidak ada artinya dibanding kekayaan keluarga Presiden Suharto yang mencapai 30 miliar dollar. Jumlah 50 ribu dollar itupun tidak disumbangkan, tetapi hanya sekadar ditukarkan ke dalam rupiah. Jika benar pernyataan Tutut bahwa kepentingan bangsa Indonesoa lebih dipentingkan daripada kepentingan keluarga, maka keluarga Suharto seharusnya mengembalikan seluruh kekayaannya sebesar Rp. 300 triliun kepada bangsa Indonesia. Apalagi jika diikuti oleh pejabat-pejabat lainnya dan cukong-cukong di lingkungan kekuasaan, krisis ekonomi akan lebih cepat terselesaikan. Tetapi yang dilakukan adalah mengemis dan meminta-minta kepada IMF, yang sampai saat ini baru mengeluarkan Rp. 50 triliun. Itupun harus dibayar dengan mengorbankan harga diri dan kedaulatan kita sebagai bangsa. Dan yang lebih penting, Suharto tidak akan melihat anak cucu bangsa Indonesia kelak membayar utang-utang itu.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air!

Penumpukan kekayaan dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan cukong-cukong di lingkungan kekuasaan tersebut dapat terjadi karena pemusatan kekuasaan hanya di satu tangan, yaitu di tangan Presiden Suharto. DPR dan MPR adalah bagaikan volksraad di jaman Belanda. Anggota-anggota volksraad ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Belanda, DPR/MPR saat ini diseleksi, ditunjuk dan diangkat oleh Presiden secara langsung dan tidak langsung. Sementara itu, lembaga kehakiman hanya menjadi alat pembenaran penguasa.

Dengarlah apa yang diucapkan oleh Presiden Suharto pada Pidato Kenegaraan di depan Sidang DPR 16 Agustus 1967, tentang kebobrokan dan penyelewengan Orde Lama terhadap UUD '45 dan Pancasila :

"Sila Peri-kemanusiaan yang adil dan beradab ditinggalkan; hak-hak azasi manusia hampir-hampir lenyap, sebab semuanya ditentukan oleh kemauan penguasa. Jaminan dan perlindungan hukum hampir tidak ada. … hanya sebagai alat untuk kemudian merebut kekuasaan secara mutlak …

Sila Kedaulatan rakyat menjadi kabur; yang ada adalah 'kedaulatan' pemimpin. Sila Keadilan Sosial makin jauh; dipakai untuk proyek-proyek 'mercu-suar' yang merusak ekonomi Rakyat dan Negara. … dalam praktek menjadi 'sitem lisensi' yang hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan penguasa. …..

Penyelewengan serius terhadap UUD 1945 terjadi dengan memusatnya kekuasaan secara mutlak pada satu tangan, yaitu Kepala Negara. Azas dan sendi negara hukum lambat laun ditinggalkan, sehingga akhirnya menjadi negara yang berdasarkan kekuasaan. Azas dan sendi sistem konstitusi, dalam praktek berubah sehingga bersifat absolutisme…. Presiden bukannya tunduk kepada MPR; bahkan sebaliknya MPR yang ditundukkan di bawah Presiden. …

Demikianlah garis-garis besar penyelewengan … yang harus segera ditinggalkan dan dikoreksi … Koreksi total telah dilakukan secara konstitusionil…"

Setelah tiga puluih tahun berkuasa, ternyata penilaian dan kata-kata yang diucapkan Presiden Suharto pada saat itu tidak berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Tidak ada perubahan dari sistem Orde Lama menjadi Orde Baru. Yang berbeda adalah kenyataan bahwa Penguasa Orde Baru, dan keluarganya, serta cukung-cukongnya sangat kaya raya, sementara sebagian besar rakyat Indonesia tetap miskin dan dililit beban utang yang sangat besar. Lalu, di mana istimewanya Suharto?? Apakah bangsa Indonesia yang beragama dan berlandaskan Pancasila pantas memiliki pemimpin yang kemunafikannya sangat keterlaluan ini?? Tentu saja tidak layak!!

Menjafi pertanyaan, apakah pernyataan Ketua MPR Harmoko bahwa 90% bangsa Indonesia menghendaki Soeharto kembali menjadi Presiden bisa dipercaya? Bagi akal sehat, pernyataan Harmoko maupun Soeharto di atas harus diterima sebagai KEBOHONGAN dan DUSTA yang sangat nyata.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air!!

Kita tidak mungkin terus berdiam diri melihat kebohongan dan kemunafikan terus berlanjut. Adalah tanggung jawab kita semua untuk menyelamatkan anak cucu kita dari kesengsaraan moral dan material akibat kebijakan dan penyalahgunaan wewenang oleh Presiden Soeharto dan aparatnya. Dengan kepemimpinan seperti itu, bangsa Indonesia tidak akan pernah mampu menjadi bangsa yang besar. Tidak akan pernah siap memasuki abad-21 yang akan datang. Dengan budaya korupsi, kolusi dan feodal yang merupakan ciri utama Orde Baru, barang-barang produksi Indonesia tidak akan bisa kompetitif di pasar dalam maupun luar negeri.. Dengan kepemimpinan seperti itu, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa pengemis dan peminjam di antara bangsa-bangsa besar lainnya di dunia.

Saat inilah waktu yang paling tepat untuk melakukan pergantian kepemimpinan nasional, saat yang paling tepat karena Presiden Suharti sudah lanjut usia, tidak memiliki stamina dan kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan yang semakin hari semakin cepat, di dalam maupun di luar negeri. Adalah sangat tidak bertanggungjawab untuk menggantungkan nasib 200 juta rakyat Indonesia kepada seseorang yang sudah kehilangan kepekaan terhadap penderitaan dan nasib bangsanya.

Beberapa tokoh dan berbagai lapisan masyarakat Indonesia telah menyatakan ketidakpercayaannya kepada kepemimpinan Presiden Suharto. Kepercayaan dunia internasional terhadap kepemimpinan Presiden Suharto juga semakin merosot. Itu terlihat dari gaya dan sikap Direktur IMF Michael Camdessus yang sangat melecehkan ketika menyaksikan "penyerahan kedaulatan ekonomi" kepada IMF dari Presiden Suharto. Presiden Suharto yang biasanya berwibawa dan ditakuti di dalam negeri, ternyata sangat nelongso dan sendiko dhawuh di hadapan "kepala kompeni baru". Ternyata cuma segitu ajah!!

Ada lima tuntutaan mendesak yang harus segera dilakukan bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis ekonomo, sosial dan politik yang terjadi saat ini :

1. Segera mengadakan Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Suharto atas krisis yang terjadi sekarang ini dan segala tindakan dan penyelewengan terhadap UUD '45 dan Pancasila.

2. Pilih Presiden yang dipercaya oleh rakyat dan mampu memimpin Indonesia menghadapi tantangan abad ke-21.

3. Kembalikan fungsi DPR/MPR sebagai lembaga yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat dan bukan kepentingan penguasa. Tegakkan hukum yang bebas dari campur tangan kekuasaan.

4. Turunkan harga bahan-bahan kebutuhan pokok sehingga terjangkau oleh rakyat banyak.

5. Adili para pelaku korupsi, kolusi dan pelaku-pelaku nepotisme. Gunakan harta hasil korupsi dan kolusi untuk memulihkan ekonomi bangsa.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air!

Kami serukan agar saudara-saudara semua segera bergabung dan melakukan tindakan yang nyata untuk membantu mewujudkan kelima tuntutan di atas. Sekaranglah saatnya untuk mengubah sejarah perjalanan bangsa kita sebelum kita terperosok lebih dalam lagi. Dungeon itikad, kekuatan moral dan tindakan nyata, mari kita bangun dan siapkan diri untuk menghadapi tantangan-tantangan baru di abad ke-21. Dungeon kepemimpinan baru, format politik dan hukum baru, arah pembangunan baru, dan iklim bisnis baru, mari kita wujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia : masyarakat yang adil dan makmur. Bangsa yang siap menjadi bangsa yang unggul dan besar di kawasan Asia.

Merdeka!

Bandung, Februari 1998
Ganesha 2000

Ir. Heri Ahmadi
Pimpinan


Reformasi Politik

1. Pendahuluan

Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa Belanda telah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun, tetapi adalah suatu kenyataan sejarah juga, bahwa Belanda tidak memulai penjajahan di Indonesia dengan penaklukan militer Raja-raja atau Sultan-sultan di Indonesia. Belanda datang untuk berdagang, mendekati raja-raja tersebut dengan hadiah-hadiah gramaphone, kereta kuda , cerutu, uang, dsb., sehingga raja-raja tersebut mengijinkan Belanda untuk berdagang dengan rakyatnya. Lama-kelamaan karena banyaknya hadiah-hadiah yang mengalir maka konsesi yang diperoleh Belanda semakin besar. Tetapi karena Belanda selalu ingin memperbesar konsesinya dan tidak semua raja-raja itu senang dengannya, maka mulailah mereka melakukan politik pecah belah (devide et impera) sehingga terjadi konflik diantara raja-raja itu sendiri. Kadang-kadang Belanda juga memberi sedikit bantuan militer tetapi kadang-kadang juga tidak. Dari raja-raja yang dibantu itu Belanda mendapat konsesi yang lebih besar lagi. Demikianlah berlangsung terus-menerus sehingga suatu saat Belanda mampu menegakkan suatu struktur kekuasaan pemerintahan Hindia-Belanda .

Selama 350 tahun Belanda menjajah sebenarnya hanya sedikit terjadi perang besar seperti perang Diponegoro, perang Aceh, perang Padri, dsb. Selebihnya adalah perang lokal yang kecil-kecil melawan tokoh-tokoh setempat. Memang banyak para pahlawan bangsa yang melawan penjajahan Belanda seperti Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Trunojoyo, Untung Suropati, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Hasanudin, Pangeran Antasari, Kapitan Pattimura dsb. Tetapi jauh lebih banyak lagi raja-raja dan sultan-sultan yang berpihak kepada Belanda dan menjadi bagian dari struktur kekuasaan penjajahan pemerintah Hindia Belanda , akibat dari sedemikian banyaknya hadiah-hadiah yang diberikan oleh Belanda dan pintarnya mereka bermain intrik (devide et impera). Belanda lebih banyak menaklukan raja-raja di Indonesia dengan hadiah-hadiah dan intrik politik (devide et impera) daripada dengan kekuatan militer. 1.1 Struktur kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Setelah pemerintahan Hindia-Belanda berdiri, jumlah personil Belanda dalam struktur pemerintahan tersebut juga kecil sekali. Pejabat Belanda yang terendah jabatannya adalah residen dan asisten residen. Selebihnya, dari Bupati, Wedana, asisten Wedana, Lurah, dsb. adalah bangsa Indonesia asli. Di kepolisian dan militer Belanda juga hanya terdapat sedikit saja personil bangsa Belanda, yang banyak adalah bangsa Indonesia. Jaksa, hakim, kantor-kantor dinas seperti telepon, kereta api, perhubungan darat dan laut, pos dsb. juga mayoritas bangsa Indonesia asli. Jadi jumlah orang Belanda yang 350 tahun menjajah Indonesia itu jumlahnya hanya sedikit saja, mungkin hanya beberapa ribu orang saja yang menjajah puluhan juta penduduk Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena dalam struktur penjajahannya dibantu oleh Sultan-sultan, raja-raja, Bupati-bupati, Wedana, dsb., yang berpihak kepada Belanda, ikut menjajah bangsa sendiri akibat dari banyaknya hadiah-hadiah yang mengalir dan intrik-intrik devide et impera. Merekalah yang membantu pemerintah kolonial dalam menggali kekayaan bumi Indonesia, seperti memungut pajak, mengurusi tanaman milik pemerintah kolonial, mengerahkan dan menghukum tenaga kerja untuk kepentingan pemerintah kolonial seperti pada waktu terjadinya Tanam Paksa.

Para Sultan, Raja, Bupati, Wedana tersebut hanya mengenal pertanggungan jawab keatas dan pada akhirnya kepada Gubernur Jendral. Mereka sama sekali tidak mengenal pertanggungan jawab kebawah, yaitu kepada rakyatnya. Didaerahnya masing-masing mereka adalah penguasa tunggal, kekuasaan hanya terpusat disatu tangan, yaitu ditangan mereka. Rakyat sama sekali tidak mempunyai hak suara untuk menentukan apa yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri.

Memang pada awal abad 20 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksraad menjadi lembaga yang seolah-olah mewakili suara rakyat. Tetapi anggotanya bukan dipilih oleh rakyat tetapi diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda. Tentu saja hanya mereka yang berkolaborasi dengan Belanda lah yang bisa diangkat menjadi anggota Volksraad. Sehingga lembaga ini tidak ada artinya sama sekali dalam penyaluran suara rakyat.

1.2. Tata Nilai Elit Penguasa

Dari sejarah penjajahan Belanda ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sudah selama ratusan tahun terbukti bahwa elit penguasa bangsa Indonesia itu lemah mental dalam menghadapi hadiah dan intrik. Mereka akan berusaha keras dengan jalan apapun untuk mendapatkan kekuasaan dan kenikmatan meskipun harus merugikan rakyatnya, meskipun harus menjual darah dan keringat rakyatnya sendiri. Inilah tata nilai budaya asli elit penguasa bangsa Indonesia, yang telah hidup dan tertanam kokoh selama ratusan tahun.

Tata nilainya bukan berpikir dan bekerja keras demi untuk memajukan kemakmuran keseluruhan rakyatnya, tetapi mereka berpikir bagaimana agar mendapatkan keuntungan dari rakyatnya. Kalaupun mereka bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, semata-mata adalah agar rakyatnya tidak berontak.Tetapi keuntungan yang mereka dapatkan dari rakyatnya jauh lebih besar dari apa yang mereka berikan. Mereka bekerja sesuai dengan prinsip Belanda yaitu " Memberi Sedikit dan Mengambil Sebanyak-banyaknya ".

Penjajahan Belanda juga bukannya tidak ada manfaatnya sama sekali buat rakyat Indonesia. Belanda lah yang membangun sekolah-sekolah dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Cikal bakal UI, ITB dan UNAIR adalah perguruan tinggi yang didirikan oleh Belanda. Belanda membangun jalan kereta api diseluruh pulau Jawa dan Sumatera, membangun jalan-jalan, jembatan, pelabuhan, kantor pos, kantor telepon, radio, sistim air bersih, drainage, kota-kota, listrik, gas dan masih banyak lagi lainnya. Sebagian rakyat Indonesia juga menikmati pembangunan itu.Misalnya tadinya buta huruf, menjadi melek huruf bahkan ada yang menjadi sarjana. Tadinya bepergian Surabaya Jakarta sukar sekali, dengan adanya kereta api menjadi mudah dsb.

Tetapi masalahnya adalah, investasi-investasi yang dilakukan Belanda tersebut sebagian besar adalah untuk melayani kepentingan Belanda sendiri, demi untuk kelancaran pengerukan kekayaan bumi Indonesia, dan hasil pengerukan itu jauh lebih besar dari pada investasi yang diberikan, sesuai dengan prinsip "Memberi Sedikit dan Mengambil Sebanyak-banyaknya ".

Prinsip itu sejalan dengan tata nilai asli elit penguasa bangsa Indonesia saat itu, dan tata nilai mayoritas rakyatnya pada waktu itu tidak terlalu melawan terhadap keadaan seperti itu, tetapi mengalah, menerima keadaan, atau menganggap sedang mendapat cobaan hidup. Maka dengan demikian Belanda dapat mempertahankan kekuasaan penjajahannya selama 350 tahun.

Dengan struktur kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang terpusat keatas seperti itu dan tata nilai elit penguasa bangsa Indonesia asli yang hanya memikirkan perut sendiri itu, maka pihak yang paling mengambil keuntungan dari situasi itu setelah Belanda dan elit Indonesia asli adalah kaum pedagang. Merekalah yang menjadi perantara antara penguasa dan rakyat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari rakyat. Mereka tidak perlu bekerja keras untuk dapat memperdagangkan barang-barang yang baik mutunya dengan harga yang pantas, tetapi cukup mereka berkolusi saja dengan penguasa dan mendapatkan hak-hak monopoli memperdagangkan barang-barang tertentu dengan harga menurut selera mereka. Tentu saja untuk itu mereka harus membayar upeti kepada elit penguasa tersebut. Tetapi jumlahnya jauh lebih kecil dari pada keuntungan yang mereka dapat .

Karena itulah adalah berbahaya sekali bila kita didalam alam kemerdekaan sekarang ini menjalankan suatu sistem politik yang memberikan kekuasaan yang terpusat kepada satu tangan yang tidak bisa terkontrol oleh siapa-siapa, karena akan menjalankan tata nilai elit penguasa bangsa Indonesia yang telah tertanam kokoh dan telah berjalan ratusan tahun, yaitu merugikan rakyatnya sendiri. Karenanya kita harus menjalankan sistem politik yang demokratis untuk mengontrol elite penguasa tersebut sesuai dengan UUD 45 & Pancasila.

Para pendiri negara ini sadar betul tentang kelemahan bangsa Indonesia tersebut. Karena itu didalam UUD 45 & Panca Sila ditegaskan betul bahwa harus ada i pembagian kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif ditangan Presiden, kekuasaan legislatif ditingkat undang-undang ditangan DPR bersama-sama Presiden, kekuasaan legislatif ditingkat GBHN ditangan MPR, kekuasaan yudikatif ditangan Mahkamah Agung yang merdeka dari kekuasaan eksekutif . 2. Kondisi ekonomi saat ini.

Gejolak nilai tukar valas yang luar biasa dan terus menerus seperti yang telah diuraikan didepan tidak terlepas dari masalah-masalah politik. Karena menurut analisa ilmu ekonomi murni harga dolar tidak setinggi itu, tetapi kurang lebih sekitar Rp. 4.000 s/d Rp. 5.000/dolar. Harga diatas harga itu adalah akibat faktor-faktor non ekonomi, termasuk faktor-faktor politis. Terjadinya harga yang melambung tinggi itu adalah merupakan produk dari sistem politik yang ada. Karena itu bila penyelesaiannya hanya reformasi ekonomi saja tanpa melibatkan reformasi politik, tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi dikemudian hari.

3. Sistem Politik Orde Baru

Ciri-ciri sistem politik Orde Baru adalah pemusatan kekuasaan kepada satu tangan yaitu Presiden Soeharto. Memang dalam pidato-pidato resmi selalu dikatakan bahwa sistem politik Orde Baru berdasarkan UUD '45 dan Pancasila. Tetapi sesungguhnya tidak demikian, tetapi hanya simbol-simbol dan nama lembaga-lembaga tinggi negara saja yang mengikuti UUD '45. Pada hakekatnya, cara bekerjanya, pembagian kekuasaanya, hubungan kerja antar lembaganya, sistim politik Orde Baru bertentangan dengan UUD '45. Orde Baru selalu mengaku kemana-mana bahwa mereka menegakkan UUD '45 & Panca Sila, tetapi sebenarnya tidak demikian, malahan sebaliknya.

Memang pada awal berkuasanya Orde Baru, banyak eksponen Orde Baru yang murni ingin melaksanakan UUD '45 & Panca Sila secara murni dan konsekwen. Tetapi dengan berjalannya waktu, makin lama makin banyak eksponen Orde Baru yang vested interest. Sehingga akhirnya yang vested interest jauh lebih kuat dari pada yang murni. Orde Baru yang murni makin lama makin tersingkir, dan akhirnya sekarang tinggal sedikit saja yang berada dilingkaran kekuasaan.

Orde Baru yang vested interest inilah yang menciptakan struktur kekuasaan yang terpusat disatu tangan Presiden Soeharto.

Orde Baru memanfaatkan kelemahan-kelemahan UUD '45 yang tidak detail dengan membuat UU yang mengatur lembaga-lembaga tinggi negara, pemilu, dsb., menurut seleranya sendiri dengan tujuan semua kekuasaan terpusat ditangan Presiden Soeharto. Dalam proses pengesahannya memang seolah-olah seperti demokratis, melalui pembahasan DPR, dsb. Tetapi sebetulnya DPR hanya membuat revisi kecil-kecilan. Tetapi untuk hal-hal yang pokok DPR tidak akan pernah bisa bertentangan dengan Soeharto.

Kelemahan UUD '45 yang tidak mengatur masa jabatan Presiden dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk mengangkat Presiden Soeharto selama 6 kali berturut-turut dan sekarang masih ngotot untuk menjadi 7 kali berturut-turut, hampir seperti Rudi Hartono yang menjuarai All England 8 kali berturut-turut.

Sangat umum sekali diseluruh dunia, untuk negara yang demokratis hanya dapat memilih Presidennya maksimum untuk dua kali masa jabatan. Karena menurut pengalaman dibanyak negara, apabila lebih dari dua kali, akan banyak menimbulkan masalah yang negatif.

UUD '45 juga tidak mengatur tentang tata cara menyusun keanggotaan MPR. Maka Orde Baru sangat sigap memanfaatkan hal ini, dengan membuat Undang-Undang yang mengatur keanggotaan MPR menurut seleranya sendiri, yaitu mengangkat anggota MPR yang jumlahnya lebih besar dari pada anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan UUD 45 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa " Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ".

Bagaimana MPR bisa melakukan kedaulatan rakyat bila lebih dari separoh anggotanya diangkat oleh Presiden. Justru Presiden lah yang mempunyai kedaulatan didalam MPR karena dia yang mengangkat mayoritas anggotanya.

Orde Baru juga membuat Undang-Undang Pemilu yang tidak jujur , yaitu anggota tim pendaftaran pemilih dan penghitung suara setelah lepas dari TPS hanya terdiri dari Golkar. Kedua Parpol yang lain tidak boleh ikut .Jadi sangat mudah mengatur jumlah suara yang masuk.

3.1. D.P.R.

Dengan pemilu yang tidak jujur, dimana sebelum ikut pemilu para calon wakil rakyat itu juga dilitsus terlebih dahulu untuk dilihat apakah bisa bekerjasama dengan Orde Baru atau tidak.Kemudian apabila masih ada anggota DPR yang bandel , masih ada lagi mekanisme recalling, disamping itu tidak ada mekanisme pertanggungan jawab anggota DPR terpilih terhadap rakyat pemilihnya, maka terciptalah suatu DPR yang sangat lemah.

Dengan DPR yang sangat lemah inilah maka kolusi, korupsi, nepotisme, proteksi menjadi semarak dan dari tahun ke tahun semakin besar skalanya. Hal ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi karena para pengusaha harus memberi upeti kepada para pejabat, daya saing ekonomi international lemah, bermunculan bisnis anak pejabat yang berfungsi sebagai makelar proyek, parahnya kondisi kesehatan perbankan kita, yang akhirnya membuat ekonomi nasional kita sekarang bangkrut.

Seharusnya menurut UUD'45, DPR mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam menjalankan pemerintahannya. DPR dapat menggunakan haknya untuk mengadakan penelitian kasus-kasus yang diduga berbau korupsi, kolusi, nepotisme. Tetapi DPR Orde Baru tidak akan menggunakan hak tersebut, karena tidak mempunyai kekuasaan untuk itu. DPR Orde Baru bukanlah DPR yang dibentuk dengan jiwa UUD'45 yang mengatakan bahwa kedaulatan ditangan rakyat. DPR Orde Baru bukanlah DPR yang dihasilkan dari Pemilu yang jujur. DPR ini juga produk dari masa yang mengambang sehingga menghasilkan wakil-wakil yang mengambang yang tidak jelas pertanggungan jawabnya kepada rakyat pemilihnya. Dengan DPR yang sangat lemah itu, maka pemerintahan Orde Baru tidak pernah berhasil memberantas korupsi dengan tuntas selama lebih dari 30 tahun, apakah itu dengan OPSTIB-nya Sudomo atau pengawasan yang disebut WASKAT (Wajib Setor Keatas) atau yang lainnya. Sehingga akhirnya didalam kehidupan nyata masyarakat Orba, korupsi tidak dianggap sebagai tindak kejahatan lagi.Dan Indonesia sudah dikenal dimana-mana sebagai juara dunia korupsi. Sedangkan didalam persaingan global saat ini, banyak negara-negara seperti Malaysia, Singapore, Taiwan, Korea Selatan, dsb. melawan kejahatan korupsi ini dengan keras. Sampai-sampai di Korea Selatan anak Presiden Kim Young Sam dimasukan penjara karena kejahatan korupsi.

Ini menunjukan komitmen mereka kepada persaingan global. Bila korupsi diberantas maka biaya produksi rendah, sehingga produknya bisa bersaing dipasaran ekspor maupun dipasaran dalam negeri untuk melawan barang impor. Di Indonesia, pemberantasan korupsi tidak mungkin berhasil selama DPR masih sangat lemah dan seluruh kekuasaan terpusat hanya disatu tangan Presiden Soeharto. Dengan demikian produk Indonesia akan mahal, kalaupun bisa dijual keuntungannya tipis dan kalau terjadi gejolak dipasar produsennya mudah bangkrut . Karena itu reformasi ekonomi ala IMF hanyalah reformasi kecil-kecilan. Tanpa reformasi politik, tanpa membuat DPR menjadi lembaga pengawasan yang kuat, tidak akan membawa hasil yang maksimal. Hanya akan menjadi pecundang dalam persaingan global.

Bila kekuasaan politik hanya berada disatu tangan seperti sekarang ini fasilitas BPPC dan Mobnas yang baru dihilangkan akibat tekanan IMF, dapat diharapkan sebentar lagi akan diganti dalam bentuk yang lain , seperti halnya Bank Andromeda yang dilikuidasi segera diganti dengan Bank Alfa.

Dengan DPR yang sangat lemah, DPR tidak bisa ikut mengawasi terjadinya penumpukan utang luar negeri swasta yang sangat cepat, sebesar US$ 65 milyar hanya dalam waktu 5 tahun dan dinikmati oleh kurang dari dua ratus keluarga saja. Sedangkan utang luar negeri pemerintah yang dibuat selama 30 tahun untuk pembangunan hanya US$ 54 milyar.

Hal itu kini menjadi masalah yang sangat besar karena utang-utang tersebut sebagian harus segera dibayar pada bulan Maret 98 sehingga terjadi perburuan dolar dan menggerakkan spekulan-spekulan untuk memainkan kurs dolar-rupiah. Akibat permainan spekulan-2 ini nilai rupiah begitu anjlok sehingga GNP/kapita kita bila dihitung dalam dolar menjadi sama dengan nilai pada awal tahun 70-an. Jadi pembangunan kita mundur lagi puluhan tahun. Akhirnya rakyat kecil lagi yang harus menanggung bebannya.

Karena itu jika hanya reformasi ekonomi saja tidak akan ada artinya. Harus diikuti reformasi politik, yaitu memperkuat DPR sebagai pengawas pemerintah.

Dengan DPR yang sangat lemah, keadilan pembangunan juga dikorbankan. Ada golongan tertentu yang menikmati pembangunan dengan berlimpah-limpah, tanpa kerja keras, tanpa keahlian dan tanpa modal tetapi hanya akibat kedekatan hubungan dengan penguasa, bisa membangun konglomerat hanya dalam waktu yang sangat singkat.. Sementara itu banyak orang yang bekerja keras tetapi belum dapat menikmati hasil pembangunan dan bahkan hanya hidup pas-pasan. Sedangkan dalam UUD'45 jelas-jelas dikatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-perorang. Dan dalam Panca Sila dikatakan bahwa Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah ini bertentangan.

Dengan DPR yang tidak berdaya, kita sebagai bangsa yang besar tidak dapat mempertahankan harkat martabat bangsa didunia internasional. Ketika mister ndoro tuan IMF memerintahkan kepada pemerintah Republik Indonesia yang sah untuk merubah RAPBN 98/99 agar sesuai dengan kehendaknya, DPR tidak berdaya apa-apa. Dan ketika pemerintah selesai menyampaikan pidato revisi RAPBN 98/99 yang garis besarnya sama dengan perintah IMF, maka DPR menyambutnya dengan tepuk tangan yang riuh rendah. Demikianlah penampilan DPR Orde Baru yang tidak sesuai dengan UUD 45 & Pancasila yang murni dan konsekuen. Oleh karena itu harus ada reformasi politik untuk mendukung reformasi ekonomi dan menegakkan harga diri, martabat bangsa dan kedaulatan rakyat.

3.1.1. Reformasi DPR

Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme, monopoli, oligopoli, proteksi, DPR harus direformasi, dikembalikan fungsinya sesuai dengan UUD '45 sebagai pengawas pemerintah. DPR harus dapat melaksanakan semua hak-haknya termasuk hak inisiatif untuk membuat undang-undang, hak angket untuk menyelidiki korupsi dan segala kecurangan-kecurangan yang lain, dan hak untuk meminta keterangan.

Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, maka harus diadakan reformasi terhadap : 1. Peraturan Tata Tertib DPR 2 . Peraturan recalling 3 . U. U. Pemilu 4 . U .U. Parpol & Golkar 5. U. U. Organisasi Kemasyarakatan . 6. U. U. Susunan dan Kedudukan MPR/DPR. 7. U. U. Pokok Pers.

3.2. MPR

MPR Orde Baru juga bertentangan dengan UUD 45, karena mayoritas anggotanya yang diangkat oleh Presiden, sehingga tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Yang terjadi malahan sebaliknya, yaitu Presiden mempunyai kedaulatan atas MPR, karena atas tanda tangan Presiden lah seseorang bisa menjadi anggota MPR atau tidak. Sedemikian besarnya kedaulatan Presiden atas MPR maka segala produk MPR pasti sesuai dengan keinginan Presiden. Misalnya mengenai calon Presiden, belum pernah selama umur Orde Baru MPR mempunyai calon Presiden lebih dari satu .

MPR sama sekali bukan lembaga demokrasi, karena tidak bisa mewakili suara rakyat. Anggota-anggotanya mayoritas tidak dipilih oleh rakyat, musyawarahnya baru bisa terjadi kalau sudah mufakat, atau mufakat dulu baru musyawarah. Sering kali terjadi juga musyawarah sambil menginjak kaki.

Anggotanya juga tercampur baur gado-gado, ada menteri, gubernur, dsb. Sehingga kalau Presiden memberikan laporan pertanggungan jawab kepada MPR maka diantara anggota MPR yang menerima laporan tersebut adalah menteri-menteri, yang posisinya juga pembantu Presiden. Jadi Presiden melaporkan hasil kerja menteri-menteri tersebut; dan menteri-menteri itu menerima laporan tentang pekerjaannya sendiri itu. Pada waktu menteri-menteri itu bekerja sebagai pembantu Presiden posisinya dibawah Presiden, sedangkan pada waktu menerima laporan Presiden posisinya diatas Presiden. Inilah demokrasi ala Orde Baru yang tidak ada logikanya.

Di MPR tidak ada mekanisme pertanggungan jawab dari anggota MPR kepada rakyat yang memilih, yang memiliki kedaulatan yang sebenarnya.

Dijaman pemerintahan Hindia Belanda dulu, Volksraad juga tidak mempunyai mekanisme pertanggungan jawab kepada rakyat. Produk-produk Volksraad juga selalu sesuai dengan keinginan Gubernur Jendral. Tidak mungkin Volksraad bertentangan dengan Gubernur Jendral.

3.2.1. Reformasi MPR

Kita harus mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana ditentukan oleh UUD 45 pasal 1 ayat 2. Mayoritas anggotanya haruslah dipilih melalui pemilihan umum yang jujur, harus benar-benar dapat mewakili suara rakyat, harus ada mekanisme pertanggungan jawab anggota MPR dengan rakyat yang memilih. Harus benar-benar dapat melaksanakan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Untuk itu harus ada reformasi :

1. Peraturan Tata Tertib MPR 2. Peraturan recalling 3. U . U . Pemilu 4. U . U . Parpol & Golkar 5. U . U . Organisasi Kemasyarakatan 6. U . U . Susunan & Kedudukan MPR/DPR. 7. U . U . Pokok Pers.

3.3. Mahkamah Agung

Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 45 meskipun hanya disinggung dalam 2 pasal, yaitu pasal 24 dan 25 tetapi dalam penjelasan UUD 45 sangat jelas bahwa " Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan para hakim ". Itulah bunyinya.

Tetapi Orde Baru membuat Undang-undang Pokok Kehakiman dan praktek-praktek dibidang kekuasaan kehakiman yang bertentangan dengan UUD 45. Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden. Tentu saja takut berbeda pendapat dengan Presiden.Kalau harus memutuskan perkara yang melibatkan kekuasaan eksekutif tentu tidak bisa obyektif dan cenderung memihak kepada eksekutif. Suatu penyelewengan yang mendasar terhadap UUD 45 . Kalimat yang berbunyi "harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan para hakim" dalam penjelasan UUD 45 tentu bermaksud bahwa para hakim harus dibebaskan/dimerdekakan dari rasa takut dalam memutuskan perkara yang melibatkan siapa saja, termasuk para pejabat pemerintah. Tetapi bila karir para hakim, fasilitas-fasilitasnya, kenaikan gajinya, penempatannya ditempat yang dapat mengembangkan karir atau yang sulit, ditentukan oleh departemen kehakiman yang dibawah kekuasaan pemerintahan/eksekutif, maka jelaslah tidak akan ada kemerdekaan dalam memutuskan perkara. Sehingga perkara-perkara korupsi yang menyangkut pejabat-pejabat tinggi negara seperti kasus Edi Tansil, hasilnya tidak memuaskan. Pejabat yang memberi katabelece malah lolos dan bersantai-santai sampai sekarang.

Inilah yang menyebabkan maraknya korupsi, kolusi, nepotisme dijaman Orde Baru. Inilah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi sehingga produk kita tidak dapat bersaing ditingkat nasional maupun internasional. Inilah yang menyebabkan rusaknya sistim perbankan nasional kita akibat kredit-kredit macet yang menumpuk terutama di bank-bank pemerintah ,dan inilah salah satu penyebab ekonomi kita sekarang bangkrut, dan Indonesia telah dikenal dimana-mana sebagai juara dunia korupsi.

Bila para hakim merasa merdeka dalam memutuskan perkara yang menyangkut siapa saja termasuk pejabat pemerintah/eksekutif yang pangkatnya setinggi apapun, maka negara kita akan bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme dan perekonomian akan sangat maju karena berani bersaing bahkan didunia internasionalpun.

Demikian pula mengenai kasus-kasus Hak Azasi Manusia, atau kasus-kasus perburuhan seperti Marsinah, kasus-kasus politik selama Orde Baru selalu menghasilkan keputusan-keputusan yang kurang memuaskan perasaan keadilan masyarakat.

3.3.1. Reformasi Mahkamah Agung

Karena itu kita perlu mereformasi Mahkamah Agung/Kekuasaan Kehakiman agar sesuai dengan yang ditentukan oleh UUD 45 . Untuk itu kita harus mereformasi:

1. U. U . Pokok Kehakiman

3.4. Badan Pemeriksa Keuangan

Dalam UUD 45 pasal 23 ayat 5 disebutkan bahwa " untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang .Hasil pemeriksaan itu diberitahuakn kepada Dewan Perwakilan Rakyat ". Kemudian dalam penjelasannya dikatakan bahwa "cara pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, harus sepadan dengan keputusan tersebut. Untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah itu perlu suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah".

Jadi BPK harus terlepas dari pengaruh pemerintah. Tetapi dalam masa Orde Baru ini, Ketua, Wakil Ketua, anggota diangkat oleh Presiden atas usul dari DPR. Ini berarti yang diusulkan oleh DPR harus yang disetujui oleh Presiden. Sekretaris Jendral diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, artinya kalau memeriksanya terlalu bersungguh-sungguh bisa diberhentikan oleh Presiden. Ini suatu pelanggaran terhadap UUD 45. Inilah sumber kerusakan keuangan negara , karena selama lebih dari 30 tahun dinegara ini tidak pernah diperiksa oleh suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah.

Seharusnya Ketua, Wakil, Sekretaris Jendral, dan anggota BPK dipilih oleh DPR dan melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR. BPK harus mempunyai staf ahli dan anggaran operasional yang cukup sehingga memiliki kemampuan operasional pemeriksaan yang tahgguh. Bukan seperti sekarang yang serba terbatas. Lembaga yang memiliki staf ahli dan pengawas yang memadai saaat ini adalah BPKP yang merupakan aparat di dalam birokrasi sehingga keputusan-keputusannya dikendalikan oleh eksekutif. BPKP harus segera dibubarkan; staf dan aparatnya digabungkan dengan BPK sehingga bisa menghasilkan pengawasan yang independen dan objektif.

Badan Pemeriksa Keuangan harus direformasi untuk dilepaskan dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah sesuai dengan yang ditentukan oleh UUD 45 ,yaitu dengan cara merubah UU BPK.

Bandung, Februari 1998


Gerakan Pembaharu Indonesia
Menuntut Pertanggungjawaban MPR

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air !

Bangsa kita saat ini sedang dalam krisis yang sangat dalam dan berbahaya. Krisis ekonomi telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan dan menurunkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun pokok persoalan yang paling penting adalah krisis kepercayaan. Ketidakpercayaan bahwa pemimpin-pemimpin nasional kita memang sungguh-sungguh dan tulus ingin menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran.

Ketidaksungguhan para pemimpin nasional itu dengan jelas tercermin dalam Sidang Umum MPR yang berlangsung di Jakarta, mulai tanggal 1 sampai 11 Maret 1998 ini. Hajatan bernilai Rp.45 milyar yang seharusnya menjadi tempat penyaluran aspirasi rakyat itu, ternyata hanya menjadi mimbar puji-pujian yang berlebihan atas keberhasilan pembangunan dan kearifan pimpinan nasional. Bagi mayoritas rakyat yang sedang sangat menderita akibat krisis ekonomi, puji-pujian tersebut terasa sebagai penghinaan yang tidak terperikan. Karena apa yang dipuji-puji di gedung DPR/MPR yang megah itu sangat kontras dari kenyataan hidup sehari-hari rakyat. Di tengah gaung pujian sukses pembangunan, rakyat harus berderet antri untuk membeli bahan pokok yang harganya telah berlipat kali dan bahkan banyak yang sudah tidak lagi mampu membeli.

Lebih jauh MPR yang diberi mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, ternyata lebih lantang menyuarakan kepentingan penguasa. SU MPR hanya menjadi tempat ketok palu dari ketetapan-ketetapan yang telah disiapkan dengan matang sebelumnya. Bahkan Anggota MPR tidak diperbolehkan interupsi dan tidak lagi dilengkapi dengan mikrofon di mejanya. Akibatnya MPR telah gagal menampung tuntutan masyarakat yang telah disampaikan melalui berbagai organisasi dan kelompok masyarakat.

Sangat banyak kekecewaan rakyat pada Sidang Umum MPR kali ini. Tetapi yang paling menyakitkan adalah tidak adanya permintaan pertanggungjawaban kepada Presiden atas terjadinya krisis ekonomi yang kini sedang terjadi. Melaporkan krisis yang telah mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaan dan puluhan ribu usaha jatuh bangkrut, Presiden Suharto malah menyerukan agar masyarakat tidak mencari kambing hitam' atas terjadinya krisis. Menjengkelkannya para anggota MPR bukannya mengejar pertanggung jawaban Presiden, mereka malah seperti koor menyambut seruan tersebut.

Sebenanrnya memang tidak perlu mencari kambing hitam. Karena yang bertanggungjawab memang sudah jelas, yaitu pemerintah sendiri. Karena kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan negara telah diberikan kepada Presiden Suharto, maka jelas dia yang harus paling bertanggungjawab.

Kekecewaan yang kedua, berkaitan dengan tuntutan agar dilakukan pergantian (suksesi) kepemimpinan nasional. Tuntutan rakyat yang sangat luas disuarakan sejak 6 tahun yang lalu tersebut, ternyata sama sekali tidak digubris. Berbagai tokoh, organisani dan kelompok masyarakat telah menyatakan penolakan terhadap pencalonan kembali dan ketidakpercayaan kepada Presiden Suharto. Mereka itu berasal dari kalangan cendekiawan, mahasiswa, pemuda, buruh, pekerja profesional dan lain-lain. Bahkan sejumlah calon Presiden alternatif telah pula diajukan oleh masyarakat, seperti Amin Rais dan Megawati Sukarnoputri. Namun semua itu tidak memperoleh pembahasan di MPR. Sebaliknya untuk ketujuh kalinya, sejak tahun 1967, MPR mengajukan calon Presiden tunggal dengan orang yang sama yaitu Jendral (Purn) Soeharto.

Rakyat menolak pencalonan kembali Suharto karena selama ini melihat telah banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan negara dan politik untuk memperkaya dirinya sendiri, memperkaya anak-anaknya, cucu-cucunya dan kerabat-kerabatnya. Seolah-olah bangsa ini, bangsa yang telah merdeka 53 tahun, bangsa dengan 200 juta jiwa, hanya diciptakan untuk memeras keringat bagi kepentingan mereka. Dengan cara-cara mereka berkuasa, mereka telah meremehkan, menyepelekan 200 juta jiwa rakyat, dan menghianati tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Kepercayaan dunia internasional terhadap kepemimpinan Presiden Suharto juga semakin merosot. Itu terlihat dari gaya dan sikap Direktur IMF Michael Camdessus yang sangat melecehkan ketika menyaksikan "penyerahan kedaulatan ekonomi" kepada IMF dari Presiden Suharto. Presiden Suharto yang biasanya berwibawa dan ditakuti di dalam negeri, terlihat tunduk patuh dan sendiko dhawuh dihadapan "kepala kompeni baru".

Saat inilah sesungguhnya waktu yang paling tepat untuk melakukan pergantian kepemimpinan nasional. Saat yang paling tepat karena Presiden Suharto sudah lanjut usia, tidak memiliki stamina dan kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan yang semakin hari semakin cepat, di dalam maupun di luar negeri. Adalah sangat tidak bertanggung jawab untuk menggantungkan nasib 200 juta rakyat Indonesia kepada seseorang yang sudah kehilangan kepekaan terhadap penderitaan dan nasib bangsanya.

Yang ketiga, MPR hanya sekilas saja membahas praktek-praktek korupsi, kolusi (penyalahgunaan jabatan dan wewenang) dan nepotisme (pemberian kemudahakan / fasilitas kepada keluarga pejabat). Padahal MPR sebenarnya dapat mengeluarkan ketetapan untuk mengatasi tiga penyakit kronis yang telah megakibatkan kerusakan sendi-sendi kehidupan bernegara dan pengelolaan ekonomi tersebut

Korupsi, kolusi dan nepotisme juga mengakibatkan bangsa Indonesia tidak akan pernah mampu menjadi bangsa yang besar. Tidak akan pernah siap memasuki abad ke-21 yang akan datang. Dengan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan ciri utama Orde Baru, barang-barang produksi Indonesia tidak akan bisa kompetitif di pasar dalam maupun luar negeri. Akibat ketiga penyakit tersebut bangsa Indonesia akan menjadi bangsa pengemis dan peminjam di antara bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. . Korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilandasi oleh keserakahan itu juga dapat membangkrutkan negara dan bangsa Indonesia.

Saat ini, bangsa ini telah bangkrut dengan hutang Rp. 1.400 triliun. Artinya, setiap keluarga di Indonesia memikul beban hutang sebesar Rp. 35 juta, sementara mereka tidak pernah mengetahui untuk apa uang pinjaman sebesar itu dipergunakan. Jumlah hutang sebesar itu, jelas diluar kemampuan sebagian besar bangsa Indonesia. Inilah hasil pembangunan selama 32 tahun Orde Baru. Dulu memang kita hidup miskin, tetapi kita tidak punya hutang sebesar itu, dan sumber daya lam kita masih berlimpah. Sekarang pun, sebagian besar bangsa kita tetap miskin, tetapi hutan-hutan sudah gundul ditebang, minyak bumi dan emas sudah dikuras habis-habisan. Mereka hanya jadi penonton dari drama pengurasan kekayaan bangsa oleh segelintir pejabat dan konco-konconya.

Bangsa Indonesia memang sudah bangkrut, tetapi para pemimpinnya tidak bangkrut, bahkan semakin kaya seiring dengan anjloknya nilai rupiah. Presiden Suharto, misalnya, menurut majalah "Forbes" dari Amerika ditempatkan sebagai pemimpin paling kaya nomer 3 di dunia. Jauh lebih kaya daripada Ratu Elizabeth dari Inggris. Presiden Suharto hanya kalah kaya dari Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, dan Raja Saudi Arabia, Fahd Abdulaziz Alsaud. Menurut majalah tersebut, kekayaan seluruh keluarga Presiden Suharto mencapai 30 miliar Dollar AS atau sekitar Rp. 300 triliun. Kekayaan tersebut nyaris mencapai seperempat hutang Indonesia.

Adanya informasi yang demikian penting tersebut, seharusnya memperoleh perhatian para anggota MPR. Andaikata informasi itu kurang akurat sekalipun, masih banyak yang bisa diambil manfaatnya. Misalnya sebagai petunjuk kemungkinan terjadinya korupsi, sehinggga dengan demikian dapat ditindaklanjuti. Selain dikuasai para pejabat, kekayaan nasional kita juga mengalir ke tangan-tangan para cukong yang dekat dengan penguasa. Kekayaan Sudono Salim (Liem Sioe Liong), cukong utama di lingkaran kekuasaan, adalah salah satu yang terbesar di antara orang-orang terkaya di Asia. Bahkan dalam suasana krisis saat ini, ketika bangsa Indonesia kesulitan memperoleh kebutuhan pokok, Salim semakin kaya karena dia menguasai hak monopoli impor beras, produksi dan distribusi minyak goreng, terigu, susu, super mie, dan lain-lain. Semakin sulit hidup bangsa Indonesia, semakin kaya cukong-cukong seperti Salim. Selain itu, SU MPR juga sangat mengecewakan rakyat karena telah menjalankan Demokrasi Pancasila secara salah. MPR telah menyalahartikan Demokrasi Pancasila sebagai budaya yes-men, kebiasaan mohon petunjuk dari atasan dan kebijakaan serba setuju. Budaya demikian itu telah menyebabkan tersumbatnya gagasan dan tuntutan masyarakat kepada pengelola pemerintahan.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air !

Lima puluh tiga tahun yang lalu, bangsa ini merdeka setelah melewati perjuangan yang panjang dan berdarah, bukan hanya dalam hitungan puluhan tahun, bahkan ratusan tahun. Para pemimpin perjuangan melawan penjajah, berjuang mati-matian, berkorban jiwa dan raga, dengan cita-cita yang tidak pernah padam untuk merdeka. Mereka percaya, bahwa hanya dengan kemerdekaan lah bangsa ini dapat menjadi bangsa yang besar, yang disegani di dunia, dan bukan bangsa yang mengemis dan meminta-minta, dan meminjam dengan menggadaikan harga diri, dan menggadaikan kekayaan bangsa. Pinjaman itupun tidak sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan bangsa, tetapi digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, memperkaya diri dan memperkuat ekonomi keluarga. Asas kekeluargaan dalam UUD '45 telah diselewengkan hanya untuk kepentingan keluarga di lingkungan kekuasaan.

Penumpukan kekayaan dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan cukong-cukong di lingkungan kekuasaan tersebut dapat terjadi karena pemusatan kekuasaan hanya di satu tangan, yaitu di tangan Presiden Suharto. DPR dan MPR adalah bagaikan volksraad di jaman Belanda. Kalau anggota volksraad ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Belanda, maka kini anggota DPR/MPR diseleksi, ditunjuk dan diangkat oleh Presiden secara langsung dan tidak langsung.

Setelah Orde Baru berkuasa 30 tahun, ada baiknya kita menyimak kembali apa yang diucapkan oleh Presiden Suharto pada Pidato Kenagaraan di depan Sidang DPR 16 Agustus 1967, tentang kebobrokan dan penyelewengan Orde Lama terhadap UUD '45 dan Pancasila:

"Sila Peri-kemanusaan yang adil dan beradab ditinggalkan; hak-hak azasi manusia hampir-hampir lenyap, sebab semuanya ditentukan oleh kemauan penguasa. Jaminan dan perlindungan hukum hampir tidak ada. …hanya sebagai alat untuk kemudian merebut kekuasaan secara mutlak…

Sila Kedaulatan rakyat menjadi kabur; yang ada adalah 'kedaulatan' pemimpin. Sila Keadilan Sosial makin jauh; sebab kekayaan negara dipakai untuk kepentingan pribadi, dipakai untuk proyek-proyek 'mercu-suar' yang merusak ekonomi Rakyat dan Negara. … dalam praktek menjadi 'sistem lisensi' yang hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan penguasa. …

Penyelewengan serius terhadap UUD 1945 terjadi dengan memusatnya kekuasaan secara mutlak pada satu tangan, yaitu Kepala Negara. Azas dan sendi negara hukum lambatm laun ditinggalkan, sehingga akhirnya menjadi negara yang berdasarkan kekuasaan. Azas dan sendi sistim konstitusi, dalam praktek berubah sehingga bersifat absolutisme…. Presiden bukannya tunduk kepada MPR; bahkan sebaliknya MPR yang ditundukkan di bawah Presiden. …

Demikianlah garis-garis besar penyelewengan… yang harus segera ditinggalkan dan dikoreksi… Koreksi total telah dilakukan secara konstitusionil…"

Ternyata penilaian dan kata-kata yang diucapkan Presiden Suharto pada saat itu tidak berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Tidak ada perubahan dari sistem Orde Lama menjadi Orde Baru. Yang berbeda adalah kenyataan bahwa Penguasa Orde Baru, dan keluarganya, serta cukong-cukongnya sangat kaya raya, sementara sebagian besar rakyat Indonesia tetap miskin dan dililit beban utang yang sangat besar. Lalu, dimana letak sukses Presiden Suharto yang memperoleh puji-pujian berlebihan itu ?

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air !

Kalau kita ringkaskan maka ada lima pokok tuntutan yang selama ini disuarakan oleh masyarakat luas. Lima tuntutan tersebut bila dilaksanakan dengan segera, diharapkan akan mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari krisis ekonomi, sosial dan politik yang terjadi saat ini. Tuntutan tersebut adalah :

1. Segera mengadakan Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggung jawaban Presiden Suharto atas krisis yang terjadi sekarang ini serta penyelewengan terhadap UUD '45 dan Pancasila. Pilih Presiden yang dipercaya oleh rakyat dan mampu memimpin Indonesia menghadapi tantangan abad ke-21. 2. Kembalikan fungsi DPR/MPR sebagai lembaga yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat dan bukan kepentingan penguasa. 3. Tegakkan hukum yang bebas dari campur tangan kekuasaan 4. Turunkan harga bahan-bahan kebutuhan pokok sehingga terjangkau oleh rakyat banyak. Arahkan kembali program pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak. 5. Adili para pelaku korupsi, kolusi dan pelaku nepotisme. Gunakan harta hasil korupsi dan kolusi untuk memulihkan ekonomi bangsa.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air!

Kami serukan agar saudara-saudara semua segera bergabung dan melakukan tindakan yang nyata untuk membantu mewujudkan kelima tuntutan rakyat di atas. Sekaranglah saatnya untuk mengubah sejarah perjalanan bangsa kita sebelum kita terperosok lebih dalam lagi. Dengan itikad, kekuatan moral dan tindakan nyata, mari kita bangun dan siapkan diri untuk menghadapi tantangan-tantangan baru di abad ke-21. Dengan kepemimpinan baru, format politik dan hukum baru, arah pembangunan baru, dan iklim bisnis baru, mari kita wujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia: masyarakat yang adil dan makmur. Bangsa yang siap menjadi bangsa yang unggul dan besar di kawasan Asia.

Merdeka !

Jakarta, 11 Maret 1998

GERAKAN PEMBAHARU INDONESIA

Ir. Heri Akhmadi
Ketua Presidium