saat batu-batu diterbangkan di jalan raya
di sela laras dan sepatu
rumput-rumput menajam ujungnya
rumput - 1997
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

   
 
 
       
SOLO DALAM MEI
 
di persimpangan
gadis menggemerincingkan gelang kaki nasib
lampu-lampu redup pada geliat pinggul
malam sedingin setajam jarum
bocah-bocah membayangkan harum ransum
ruh menjerit menggarami udara
 
saya di antara
kata-kata sederhana penuh gairah
sebuah harapan lebih berumur panjang
seperti jam tangan, selalu menunjuk ke jantung
 
mimpi kemerdekaan menjadi sebuah tugu kematian
terpahat ribuan nama, dan ribuan tercecer
 
gedung dan rumah gemetar
menutup pintu
mimpi kemerdekaan menjadi sebuah tugu kematian
di puncaknya ruh menjerit menggarami udara
 
kemana alamat?
kusahut tanda cahaya yang berkelebat
kusebar harum harapan sepanjang jalan kaki
kureguk kenyataan dari setiap ancaman
 
panorama kota, seperti
tangis kehilangan airmata
 
1999
 
 
KAKI-KAKI KECIL ITU MELUNCUR
 
Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan
Surat kabar tak henti dari teriakan
Darah tambah membasah di headline
Jam demi jam membayang harum ransum
Angin runtuh, di sungai keruh, awan atas
Sebuah kota, diserang sepeda-sepeda motor
Mengerang, slogan, kata-kata hujatan
Seperti hujan
Fatamorgana atas
Aspal meleleh
Kaki-kaki kecil itu
Tanpa alas meluncur, berebut uang logam
Hari jauh dari malam, terasa temaram
 
Jika gelap mulai mencat langit
Seorang perempuan berpupur gelisah di trotoar
Menghitung batu-batu
Seorang lelaki nanar menanti pacar
Menghitung batu-batu
 
Seorang gadis remaja di ujung gang
Langkahnya terserimpung
Seperti ada darah terpercik di wajah
Lampu-lampu limbung
Langkah-langkah pun urung
Piatu yang ragu turun ke jalan, tertunduk
Ia kembali ke pintu
 
Jika hari merapat ke pagi
Adzan subuh hanya luruh
Embun hanya jerit, tergelincir di sela batu
Kini matahari hanya tahu bahasa debu
 
Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan
Para politisi tak henti dari teriakan
Darah tambah mencacah di tanah
Hari demi hari hanya kemarau, menguap harum ransum
Angin runtuh, di sungai keruh, asap atas
Sebuah kota, diserang parang
Menegak, slogan, kata-kata hasutan
Seperti nyala
Bola gas raksasa atas
Aspal meleleh
Kaki-kaki kecil itu
Tanpa alas terus meluncur, berebut uang logam
Hari jauh dari malam, terasa kelam
 
1999
 
 
 
 
SEORANG GADIS BERORASI
- 14 Mei 
 
Dipertemukan oleh turunnya orang-orang ke jalanan
Kemudaan megar di antara
Keringat, rasa haus, teriakan-teriakan nurani yang dirobek
Adakah lebih bening dari mata perempuan murni?
 
Bahasa kasihsayang menjelma
Ledakan api, coretmoret sajak-sajak garang di tembok
Aku terpanggang dua api suci
Bara lelaki disetrum kewanitaan
 
Dan robekan nurani nyala disulut airmata seorang ibu
 
1998
 
 
 
 
 
 
PANORAMA PERMULAAN HUJAN
- 20 Mei 
 
Kami masih disiangi arus cahaya yang 32 tahun padam dalam hari-hari. 
Melewati jalanan aspal. 
Tugu. 
Malioboro. 
Air di simpang yang bertahun terkubur itu kembali berterjunan, 
dalam warna pelangi disepuh senjahari. 
Orang gentayangan. 
Orang bercinta. 
Di bawah payung, corong demokrasi. 
Dan moncong senjata mengarah ke mukaku. 
Tapi sajak demi sajak melesat ke udara, 
menjelma api di tengah gerimis. 
 
Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah, 
kebebasan kami tenggak. 
Mandi pelangi. 
Dan entah bagaimana baris sajak Rendra itu 
turut menggemburkan wajah-wajah tanah. 
Dengan bahasanya, air mengikis kekuasaan batu-batu, 
yang 32 tahun menyumbat sungai hari kami. 
Tapi di alun-alun kota kenangan raja-raja hujan mengucurkan doa. 
 
Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah. 
Terpaan arus cahaya gerimis mengetuki kaca-kaca jendela kantor pemerintahan. 
Orang-orang gentayangan. 
Orang-orang bercinta. 
Kami mendengar letusan pertama pohon cendana keramat dari barat. 
Lalu meluncurlah ladang-ladang, menghamparkan hijau rumputnya. 
"Oh, Tuhanku....." 
 
 
Demikianlah cara hujan membangunkan tidur negeri kemarau panjang. 
Dan ketika arus gerimis menjelma cahaya menaburkan alif-alifnya ke bumi, 
kami membaca harapan. 
Kubah masjid kebiruan menambah gagah di hadapan. 
Panorama yang hanya berakhir ke bilik hati para rumput. 
Kami. 
Mensujudkan diri. 
 
1998 
 
 
 
 
ODE PENCARI PINTU
 
Aku buka pintu
Jam di dinding masih berputar
Apa jantungku masih berdentang?
Sejak kamu dan anak-anak tak di rumah
Tatkala dari arah utara gelombang orang-orang itu
Menuntut jagung, minyak goreng, bukan keju
 
Aku buka pintu-pintu
Jam di dinding kota masih berputar
Apa jantungmu dan anak-anak masih berdentang?
Sejak aku tersedot arus gelombang orang-orang itu
Saat terjengkang oleh senapang yang hilang mata
Sebuah jawab. Hanya sebab sajak-sajak :
 
Yang diinjak bertahun
Di bawah kursi tak beranjak
Yang menyeruak, ingin menghirup hawa pagi hari
 
Aku buka pintu-pintu
Jam-jam telah rusak
Jantung tak lagi berdentang
 
Di sebuah jalan malam-malam
Seorang serdadu tersedu
Mencari kekasihnya yang
Terbakar
 
1998
 
 
 
SEEKOR DOMBA
 
seekor domba datang dari masakecil
mengembik di antara batu-batu
lelaki itu heran, bukankah padang rumput hijau
lama lenyap dari pandang, menggigil ia
di antara gantungan-gantungan tangan buskota
 
tapi tetes darah domba amisnya sampai ke mimpi
ia tak mengerti, bagaimana mungkin
berpuluh kemarau deras angin menghalau kemari
: sebuah rumah kecil, menjorok ke kali
di satu ruang kartonnya, ia disengat dingin
 
Gusti, Tuhannya ibrahim,
domba ini tersesat pulang!
 
1997
 
 
ODE UNTUK PENYAIR
 
 
Lelaki hitam itu
Lagi di pintu senjahari
Badannya mengeras
Menambah kemarau ranggas
Kayak dulu
Wajah gagu
Tapi mulut karatan itu toh berkata juga
;Rambut janggut kemlaratan ini
Tak kunjung terawat
Seperti sajak-sajak, kusisir nasib!
 
Tapi kayak dulu, yang gagu justru kami
Badan keras itu di mata tinggal sepenggal
Syair lagu melankolis
Seperti tomat yang diiris
 
Kami mengenalnya di penghujung tahun penuh hujan
Di pintu senjahari, kuyup hujan dan mimpi
Dengan teh hangat dan pisang goreng
Cerita ia pun berhalaman-halaman
Kesakitan ini memang kucari
Istri dan anak kukhianati
Gentayangan tak tentu tuju
Mengepalkan tinju pada apa yang kutemu!
 
Tapi itu tujuh tahun lalu. Yang gagu justru kami
Kenangan toh tersentak oleh kaing anjing
Berebut tulang
Lelaki itu datang untuk pergi
Ada degup jantungnya
Tapi apa hidupnya berdegup?
Ada sajak terbakar di jantungnya
Tapi apa ia sungguh penyair?
 
Lelaki hitam, kayak dulu, menghilang di ujung jalan itu
Dan lampu-lampu dan jalan itu menyiapkan terang
Barangkali di dadanya ada kota terakhir
Semoga
 
1997
 
 
 
MALAM SETELAH TURUN DI JALAN
 
pergi, sayang, suaramu
terlalu lembut untuk yang bernama keadilan
tapi itulah embun yang nyalangkan siapapun
agar tetap jaga di antara
jemputan batang-batang tangan
yang lebih baja dari baja
 
ke langit kota tiga detik menatap
mungkin sama juga langit jantungmu
deras dalam degup tapi
sunyi saja yang hingar
 
seorang lelaki lebih biasa pada mulut peluru
sehabis suara ditegakkan di siang
di jalan-jalan. orang-orang khusuk merobohkan
bendungan-bendungan nurani
tapi batang-batang serdadu
yang lebih baja dari baja
biarkan hidup tanpa cemas apa dan siapa
Tuhan di hati di jalan rakyat!
jerit lainnya
bukankah serdadu sama lahir dari ibu
kenapa yang tampak hantu melulu?
 
ya, itu di siang
tengah malamnya toh udara kelam mencium bau peluru
pergi, sayang,... istri cuma bisa ngelus
rahimnya yang mulai bergerak-gerak perlahan
di langit ada bermilyar mata meneteskan embun
suatu saat akan bangkit
turun di jalan-jalan, menumpulkan peluru
dan serdadu
 
1996
 
 
 
 
LAGU LANGIT MATI
 
Pagi itu ia lagi memanggil lagu langit
Bersila di sisi jendela
Lalu usai lalu menutup kitab
Lalu mulai menyurat lagi sajak-sajak tanpa
Tujuan yang terang :
Sepertinya dunia hanyalah
Jalan yang melingkar, tanpa halte
Tanpa terminal terakhir
Dan tempat ia berdiri mungkin saja suatu yang
Lebih mengering dari bunga-bunga di vas itu
Dan berjatuhan
 
Tapi lagu langit siapa
Apa turun dari udara berdebu?
Belum lagi sempat jawab, suara radio menajam
Yang di telinganya hanya memperlebar jurang
Dari pagi ini dengan pagi esok
Lalu istri mendekat makin menatah kekosongan mata
Juga gaduh anak tetangga berebut mainan
 
Ia masih di jendela
Ia masih mengharap sesuatu turun dari langit
 
1995
 
 
 
ORANG-ORANG BAYANGAN
 
Kami memasuki lagi jalanan berdebu
Yang dulu melukisi mata dan nasib
Yang berkedip-kedip dalam sebuah sajak
Yang dipenuhi kalimat lembut, tapi sesak tanjakan
Kecemasan memburu setiap ruang
Menggelepar ke sekitar, taman-taman mengering
Dan kami menjelma makhluk siang di dalamnya
 
Lalu kami dekap lagi tubuh kemlaratan itu
Selaksa bayang-bayang, kami bertukar tangkap
Masih dari trotoar, ke gang kecil dipenuhi rumah kumuh
Lalu langit kamar retak mengucuri pikiran dan
Perasaan kami membaca segala itu sebagai perlambang megah
Yang mungkin hanya berakhir di antara pusar surut ke paha
Menjadi lenguh dalam ledakan
(Ya mungkin ini hiburan kami satu-satunya yang anggur!)
 
Di situ barangkali kami menjadi makhluk siang yang
Sangsi akan diri sendiri, sekalipun
Kami hanya beroleh keringat serta airmata
Untuk dijadikan mandi malam
Untuk meredam teriakan-teriakan yang tersendat
Tapi selalu saja kami berkeras mengubur bayang-bayang
Tapi, “Ya Allah, kamilah bayangan itu sendiri di sela
jalanan berdebu.”
 
1994
 
 
 
 
JEMBATAN LURUS KE SENJA
 
Di tengah jembatan, aku atau kau antara dua nasib
Pasir Progo atau arus air deras di bawahnya
Tiba-tiba tubuhmu menggigil oleh airmata
Seperti pusaran sungai ini, memanjati tebingnya
(Mengingatkan tahun yang gemetar
September berdarah itu mengalir lagi padamu
Mengantarkan mayat tak berdosa ke muara)
 
Kini kengerian itu menjadi bahasa doa yang
Menggayuh cahaya langit, untuk disimpan
Dalam hatimu : sebuah kediaman yang sering mengeras
Sementara aku atau kau hanyalah dua bongkahan batu
Antara dua tebing yang senantiasa bersama
dalam mencari muara
 
Sepertinya kurasakan jalan jembatan ini
Kian meninggi, melewati waktu yang seperti tangga-
Tangga, lurus menuju sisa sinar senja
Bentangan sirothol mustaqim sepertinya lebih mendekat
Dan aku atau kau mesti melintas ke sana
Memilih arah satu antara dua dunia
Mungkin surga. Mungkin neraka
 
1991, 1994
 
 
 
puisi-puisi di atas dapat diakses pada
site pribadi Abdul Wachid BS di http://poemscope.8m.com
dan http://wachid.8m.com
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
juni - 1999